Turtles Can Fly Kura-kura Kurdi dan Politik Kemanusiaan Bahman Ghobadi
Oleh Muhammad Yulius, Penatap Nanar Bermata Minus
Bagaimana kita menangkap bahasa cinta, kebencian, atau dendam kesumat seorang sutradara dalam film garapannya? Apakah film dapat menjadi media yang efektif untuk menilai sikap dan idealisme seorang sutradara terhadap persoalan yang diangkatnya? Apakah setiap kita—sebagai penonton—memakai mata yang sama; yaitu mata seorang komunikan (penerima pesan) yang memaknai aktivitas menontonnya sebagai proses decoding, sehingga kita dapat mengapresiasi bukan saja hal-hal umum dari film itu, melainkan juga pesan-pesan yang berdenyut dari jantung sang sutradara?
Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk dijawab ketika kita menyaksikan film-film dengan latar pertarungan politik dan ideologi seperti 300 (Zack Snyder), The Last King from Scotland (Kevin Mcdonald), Hotel Rwanda (Terry George), The Wind That Shakes the Barley (Ken Loach) Schlinder List (Steven Sphielberg), The Killing Field (Roland Joffe’), Kundun (Martin Scorsese), Lawrence of Arabia (David Lean), dan tentu saja Turtles Can Fly karya sutradara Bahman Ghobadi. Film-film ini dibuat dengan background sejarah nyata, kejadian sungguhan, dan tokoh-tokoh yang masih dan pernah hidup di alam dunia ini. Dengan demikian, peran sutradara menjadi strategis mengingat di tangannyalah sebuah background cerita dapat berbicara, pelaku sejarah menjadi hidup kembali, dan sebuah persoalan bisa menjadi propaganda. Dalam wujud film, background mungkin tidak berubah, pelaku bisa saja sama, tetapi persoalan yang diangkat bisa berbicara lain ketika angle sang sutradara mengarahkannya berdasarkan sikap dan idealismenya.
Itulah yang dicontohkan oleh film laris 300 yang hingga saat masih beredar di bioskop-bioskop di luar negeri. Film yang diangkat dari novel komik karya Frank Miller ini, mendapat hujatan dari pemerintah Iran sebagai propaganda hitam Amerika terhadap kebijakan teknologi nuklir Iran. Dalam film yang dirilis tanggal 6 Maret 2007 ini, Zack Snyder menggambarkan orang Persia (Iran) sebagai orang jahat dengan perangai bak monster. Begitu juga dengan Hotel Rwanda yang mendapat tentangan keras dari pemerintah Rwanda. Jajaran elite Rwanda mengatakan bahwa adegan-adegan dalam film yang dibintangi oleh Don Cheadle, Sophie Okonedo, dan Nick Nolte itu sama sekali tidak sesuai dengan fakta di lapangan.
Bagaimana dengan Turtles Can Fly (TCF)? Film dengan latar belakang keruntuhan rezim Saddam Hussein ini disebut-sebut sebagai film pertama dan satu-satunya yang menggambarkan situasi rakyat Irak secara umum pascainvasi Amerika. Apakah film yang diedarkan oleh Metro Goldwyn Mayer (MGM), perusahaan film berbasis di Amerika yang didirikan oleh duo Yahudi perantauan Marcus Leow dan Louis B. Mayer, ini benar-benar mewakili penderitaan rakyat Irak? Tentu tidak, jika kita melihat siapa Bahman Ghobadi.
Ghobadi dilahirkan pada tanggal 1 Februari 1969 di desa Baneh, provinsi Kurdistan, Iran. Ia mengenyam pendidikan sinematografi, dengan spesialisasi penyutradaraan film, di Iranian Broadcasting College. Ghobadi mengawali kariernya dengan membesut Life in Fog, sebuah film pendek yang dirilisnya pada pertengahan 1990. Film ini mendapat penghargaan internasional dan segera menjadi fenomena dalam sejarah perfilman Iran. Setelah menggarap film layar lebar pertamanya, A Time for Drunken Horses, pada tahun 1999, Ghobadi segera terkenal sebagai orang Kurdi pertama di jagat perfilman Iran.
Darah Kurdi yang mengalir dalam tubuh Ghobadi menyebabkan TCF hadir sebagai film berbau politik yang menggambarkan penderitaan orang Kurdi di bawah rezim tiranik Saddam. Sebagai gambaran kasar, populasi etnis Kurdi di Irak sekitar 5 juta jiwa, atau sekitar 25% dari jumlah penduduk Irak. Suku Kurdi berjuang mendapatkan kemerdekaannya sejak abad ke-20, dan terus bergerilya hingga kini. Runyamnya, saat Inggris menjajah Irak (PD I), pemerintah kolonial Inggris membuat mekanisme pemberangusan kaum pemberontak Kurdi dalam draft pendirian Irak modern. Kebijakan itulah yang sesaat sebelum invasi Amerika tetap dijalankan pemerintah Irak di bawah kepemimpinan Saddam. Bagi rezim Saddam, Kurdi adalah lalat yang harus dibasmi.
Seperti film-film sebelumnya, eksplorasi Ghobadi terhadap kekurdiannya memang sangat kental. Ia, misalnya, berbeda dengan sutradara Iran lainnya seperti Nizamettin Aric dan Samira Makmalbaf yang mengangkat tema-tema kehidupan masyarakat Iran. Bisa dikatakan, Ghobadi adalah sutradara Iran spesialis tema-tema kehidupan masyarakat Kurdi. Warna-warna Kurdi ia tampilkan mulai dari tokoh, konflik, hingga setting lokal. Dalam A Time for Drunken Horses, misalnya, Ghobadi mengangkat penderitaan anak-anak Kurdi yang tinggal di perbatasan Irak-Iran yang harus berjuang mempertahankan hidup dengan menyelundup ke Irak untuk bekerja sebagai buruh kasar. Sementara dalam Marooned in Iraq (2002), ia membidik penderitaan seorang musisi Kurdi yang mencoba mengadu nasib di Irak.
Angle-angle kemanusiaan Ghobadi itulah yang membuat film-filmnya menyentuh, meski diangkat dengan latar belakang persoalan sosial-politik yang rumit dan berat. Ghobadi tidak terjebak pada verbalitas kampungan yang sinis dan nyinyir, yang bisa membuat filmnya penuh sumpah serapah. Dalam TCF, Ghobadi menggunakan anak-anak sebagai angle dalam melihat penderitaan suku Kurdi pada detik-detik kejatuhan Saddam. Ghobadi membuat TCF menjadi film yang kuat dan berhasil karena ia bercerita tentang penderitaan kakak beradik Agrin (Avaz Latif) dan Hengov (Hiresh Feysal Rahman), serta Riga (Abdol Rahman Karim)—anak Agrin hasil perkosaan oleh tentara Irak. Anak-anak ini tidak dimainkan untuk berteriak-teriak, menghujat, apalagi menghina Saddam. Agrin, Hengov, dan Riga hanyalah anak-anak, sama seperti anak-anak lain di seluruh dunia. Yang membedakan mereka hanyalah nasib mereka sebagai anak-anak suku Kurdi. Tetapi lihat bagaimana Ghobadi membalut penderitaan itu dengan canggihnya, sehingga TCF tidak terjebak menjadi penderitaan yang verbal dan mendayu-dayu ala film India atau Indonesia sebangsa Ratapan Anak Tiri. Penderitaan anak-anak itu tetap menjadi penderitaan yang “elegan”, penuh energi dan dinamis, dan tidak dibuat menyerah kepada nasib. Oleh karena itu, penderitaan anak-anak suku Kurdi itu juga mengundang senyum dan decak kagum penonton. Perhatikan, misalnya, bagaimana berwibawanya Hengov yang tidak ingin Agrin diganggu oleh Kak “Satelite” (Soran Ebrahim) yang diam-diam menyukainya. Kak “Satelite” sendiri digambarkan dengan teknik yang tinggi; bagaimana remaja tanggung itu memiliki pengaruh kuat di kalangan anak-anak dan penduduk karena kepintarannya mengutak-atik antena teve dan menjadi bos usaha pembersihan ranjau.
Secara khusus, Ghobadi juga menyajikan konflik batin Agrin yang berkali-kali mencoba mengakhirinya dengan bunuh diri. Di scene ini, Ghobadi tidak terjebak pada kecengengan dan dendam kesumat. Ghobadi tidak mengintrodusir latar belakang konflik batin Agrin dengan opening yang hiruk-pikuk, tapi cukup dengan flash back yang menggambarkan serbuan tentara Irak ke kampung Agrin, mengobrak-abriknya, lalu dan memperkosa bocah perempuan itu. Opening TCF pun dibuka dengan adegan percobaan bunuh diri Agrin yang penuh inner conflict, terasa sangat alamiah tetapi menyayat jiwa. Begitu juga dengan percobaan bunuh dirinya di sebuah danau kecil pada malam hari. Agrin melakukannya dengan dingin; ia berjalan dengan tenang ke tengah danau lalu menyiramkan minyak ke sekujur tubuhnya tanah lalu membakarnya. Saking dalamnya konflik itu, bahkan skor musik pun dibuat minus (bandingkan dengan film-film kita; yang di scene begini musiknya pasti sudah ribut sekali).......ke mana lanjutannya? hilang, terpotong, ah...sudahlah, lupakan saja....
Bagaimana kita menangkap bahasa cinta, kebencian, atau dendam kesumat seorang sutradara dalam film garapannya? Apakah film dapat menjadi media yang efektif untuk menilai sikap dan idealisme seorang sutradara terhadap persoalan yang diangkatnya? Apakah setiap kita—sebagai penonton—memakai mata yang sama; yaitu mata seorang komunikan (penerima pesan) yang memaknai aktivitas menontonnya sebagai proses decoding, sehingga kita dapat mengapresiasi bukan saja hal-hal umum dari film itu, melainkan juga pesan-pesan yang berdenyut dari jantung sang sutradara?
Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk dijawab ketika kita menyaksikan film-film dengan latar pertarungan politik dan ideologi seperti 300 (Zack Snyder), The Last King from Scotland (Kevin Mcdonald), Hotel Rwanda (Terry George), The Wind That Shakes the Barley (Ken Loach) Schlinder List (Steven Sphielberg), The Killing Field (Roland Joffe’), Kundun (Martin Scorsese), Lawrence of Arabia (David Lean), dan tentu saja Turtles Can Fly karya sutradara Bahman Ghobadi. Film-film ini dibuat dengan background sejarah nyata, kejadian sungguhan, dan tokoh-tokoh yang masih dan pernah hidup di alam dunia ini. Dengan demikian, peran sutradara menjadi strategis mengingat di tangannyalah sebuah background cerita dapat berbicara, pelaku sejarah menjadi hidup kembali, dan sebuah persoalan bisa menjadi propaganda. Dalam wujud film, background mungkin tidak berubah, pelaku bisa saja sama, tetapi persoalan yang diangkat bisa berbicara lain ketika angle sang sutradara mengarahkannya berdasarkan sikap dan idealismenya.
Itulah yang dicontohkan oleh film laris 300 yang hingga saat masih beredar di bioskop-bioskop di luar negeri. Film yang diangkat dari novel komik karya Frank Miller ini, mendapat hujatan dari pemerintah Iran sebagai propaganda hitam Amerika terhadap kebijakan teknologi nuklir Iran. Dalam film yang dirilis tanggal 6 Maret 2007 ini, Zack Snyder menggambarkan orang Persia (Iran) sebagai orang jahat dengan perangai bak monster. Begitu juga dengan Hotel Rwanda yang mendapat tentangan keras dari pemerintah Rwanda. Jajaran elite Rwanda mengatakan bahwa adegan-adegan dalam film yang dibintangi oleh Don Cheadle, Sophie Okonedo, dan Nick Nolte itu sama sekali tidak sesuai dengan fakta di lapangan.
Bagaimana dengan Turtles Can Fly (TCF)? Film dengan latar belakang keruntuhan rezim Saddam Hussein ini disebut-sebut sebagai film pertama dan satu-satunya yang menggambarkan situasi rakyat Irak secara umum pascainvasi Amerika. Apakah film yang diedarkan oleh Metro Goldwyn Mayer (MGM), perusahaan film berbasis di Amerika yang didirikan oleh duo Yahudi perantauan Marcus Leow dan Louis B. Mayer, ini benar-benar mewakili penderitaan rakyat Irak? Tentu tidak, jika kita melihat siapa Bahman Ghobadi.
Ghobadi dilahirkan pada tanggal 1 Februari 1969 di desa Baneh, provinsi Kurdistan, Iran. Ia mengenyam pendidikan sinematografi, dengan spesialisasi penyutradaraan film, di Iranian Broadcasting College. Ghobadi mengawali kariernya dengan membesut Life in Fog, sebuah film pendek yang dirilisnya pada pertengahan 1990. Film ini mendapat penghargaan internasional dan segera menjadi fenomena dalam sejarah perfilman Iran. Setelah menggarap film layar lebar pertamanya, A Time for Drunken Horses, pada tahun 1999, Ghobadi segera terkenal sebagai orang Kurdi pertama di jagat perfilman Iran.
Darah Kurdi yang mengalir dalam tubuh Ghobadi menyebabkan TCF hadir sebagai film berbau politik yang menggambarkan penderitaan orang Kurdi di bawah rezim tiranik Saddam. Sebagai gambaran kasar, populasi etnis Kurdi di Irak sekitar 5 juta jiwa, atau sekitar 25% dari jumlah penduduk Irak. Suku Kurdi berjuang mendapatkan kemerdekaannya sejak abad ke-20, dan terus bergerilya hingga kini. Runyamnya, saat Inggris menjajah Irak (PD I), pemerintah kolonial Inggris membuat mekanisme pemberangusan kaum pemberontak Kurdi dalam draft pendirian Irak modern. Kebijakan itulah yang sesaat sebelum invasi Amerika tetap dijalankan pemerintah Irak di bawah kepemimpinan Saddam. Bagi rezim Saddam, Kurdi adalah lalat yang harus dibasmi.
Seperti film-film sebelumnya, eksplorasi Ghobadi terhadap kekurdiannya memang sangat kental. Ia, misalnya, berbeda dengan sutradara Iran lainnya seperti Nizamettin Aric dan Samira Makmalbaf yang mengangkat tema-tema kehidupan masyarakat Iran. Bisa dikatakan, Ghobadi adalah sutradara Iran spesialis tema-tema kehidupan masyarakat Kurdi. Warna-warna Kurdi ia tampilkan mulai dari tokoh, konflik, hingga setting lokal. Dalam A Time for Drunken Horses, misalnya, Ghobadi mengangkat penderitaan anak-anak Kurdi yang tinggal di perbatasan Irak-Iran yang harus berjuang mempertahankan hidup dengan menyelundup ke Irak untuk bekerja sebagai buruh kasar. Sementara dalam Marooned in Iraq (2002), ia membidik penderitaan seorang musisi Kurdi yang mencoba mengadu nasib di Irak.
Angle-angle kemanusiaan Ghobadi itulah yang membuat film-filmnya menyentuh, meski diangkat dengan latar belakang persoalan sosial-politik yang rumit dan berat. Ghobadi tidak terjebak pada verbalitas kampungan yang sinis dan nyinyir, yang bisa membuat filmnya penuh sumpah serapah. Dalam TCF, Ghobadi menggunakan anak-anak sebagai angle dalam melihat penderitaan suku Kurdi pada detik-detik kejatuhan Saddam. Ghobadi membuat TCF menjadi film yang kuat dan berhasil karena ia bercerita tentang penderitaan kakak beradik Agrin (Avaz Latif) dan Hengov (Hiresh Feysal Rahman), serta Riga (Abdol Rahman Karim)—anak Agrin hasil perkosaan oleh tentara Irak. Anak-anak ini tidak dimainkan untuk berteriak-teriak, menghujat, apalagi menghina Saddam. Agrin, Hengov, dan Riga hanyalah anak-anak, sama seperti anak-anak lain di seluruh dunia. Yang membedakan mereka hanyalah nasib mereka sebagai anak-anak suku Kurdi. Tetapi lihat bagaimana Ghobadi membalut penderitaan itu dengan canggihnya, sehingga TCF tidak terjebak menjadi penderitaan yang verbal dan mendayu-dayu ala film India atau Indonesia sebangsa Ratapan Anak Tiri. Penderitaan anak-anak itu tetap menjadi penderitaan yang “elegan”, penuh energi dan dinamis, dan tidak dibuat menyerah kepada nasib. Oleh karena itu, penderitaan anak-anak suku Kurdi itu juga mengundang senyum dan decak kagum penonton. Perhatikan, misalnya, bagaimana berwibawanya Hengov yang tidak ingin Agrin diganggu oleh Kak “Satelite” (Soran Ebrahim) yang diam-diam menyukainya. Kak “Satelite” sendiri digambarkan dengan teknik yang tinggi; bagaimana remaja tanggung itu memiliki pengaruh kuat di kalangan anak-anak dan penduduk karena kepintarannya mengutak-atik antena teve dan menjadi bos usaha pembersihan ranjau.
Secara khusus, Ghobadi juga menyajikan konflik batin Agrin yang berkali-kali mencoba mengakhirinya dengan bunuh diri. Di scene ini, Ghobadi tidak terjebak pada kecengengan dan dendam kesumat. Ghobadi tidak mengintrodusir latar belakang konflik batin Agrin dengan opening yang hiruk-pikuk, tapi cukup dengan flash back yang menggambarkan serbuan tentara Irak ke kampung Agrin, mengobrak-abriknya, lalu dan memperkosa bocah perempuan itu. Opening TCF pun dibuka dengan adegan percobaan bunuh diri Agrin yang penuh inner conflict, terasa sangat alamiah tetapi menyayat jiwa. Begitu juga dengan percobaan bunuh dirinya di sebuah danau kecil pada malam hari. Agrin melakukannya dengan dingin; ia berjalan dengan tenang ke tengah danau lalu menyiramkan minyak ke sekujur tubuhnya tanah lalu membakarnya. Saking dalamnya konflik itu, bahkan skor musik pun dibuat minus (bandingkan dengan film-film kita; yang di scene begini musiknya pasti sudah ribut sekali).......ke mana lanjutannya? hilang, terpotong, ah...sudahlah, lupakan saja....
Komentar