Berhaji, Menggapai Spiritualitas Diri dan Masyarakat


Dzulhijah menjelang. Lantunan kalimat talbiyah mulai bergema di seantero negeri. Hiruk pikuk Tanah Suci mengirim janji kemabruran. Namun, kesibukan para calon tamu Allah berkutat di seputar urusan fisik: cadangan duit, daftar belanja, list permohonan doa dari keluarga dan para tetangga. Di belakang mereka, ada yang masih berputar-putar dengan soal kemantapan, meski semua syarat telah melekat dalam dirinya dan sinyal-sinyal panggilan kian kuat menggedor jiwa. Apakah haji selalu saja soal persiapan fisik yang instan dan hal ihwal panggilan?

Soal “Belum Terpanggil” Hingga “Mendadak Shaleh”

Mak Tuni, demikian tokoh kita ini biasa disapa, tak pernah berani membayangkan dirinya bakal menjejakkan kaki di Tanah Suci. Boro-boro membayangkan, melafalkan kalimat talbiyah saja ia sudah merasa tak pantas. Ia janda tua tanpa anak dan sanak saudara; sebatang kara menghadapi serbuan hidup yang kian durjana. Tak ada yang bernyali memutus borgol kemiskinannya, sekalipun itu para “Duta Tuhan”—Pak Haji dan Bu Hajjah yang sudah “naik-turun” haji.

Toh, Mak Tuni masih punya rasa rindu dan air mata, yang dipupuknya tanpa jeda. Saban usai shalat, ia tak pernah alpa memanjatkan kangennya untuk bersua Dia di rumah-Nya; rasa rindu yang berbaur air mata mencucur. Lalu, berlakulah takdir-Nya atas Mak Tuni. Suatu hari, seorang muhsinin dari lembaga sosial menyodorkan sekeping kesempatan untuk terbang ke Baitullah. Demikianlah. Janda sebatang kara itu akhirnya bersua dengan pujaan hatinya.

Mak Tuni memang bukanlah potret kebanyakan masyarakat kita dalam memandang ibadah haji. Umumnya kita, ibadah haji hanya berurusan dengan satu hal mutlak: uang. Jadi, tak ada persiapan lain selain memiliki jatah fulus yang bisa dilungsurkan ke dalam tabungan haji.

Cara pandang ibadah haji berbasis uang inilah tampaknya yang melupakan kita kepada fondasi kesiapan berhaji: persiapan spiritual. Padahal, dalam urutan Rukun Islam, haji menempati posisi kelima. Ini artinya, secara bertahap Islam telah mengajarkan kepada umatnya agar melakukan pencapaian hidup secara permanen, tahap demi tahapnya.

“Seluruh ibadah dapat meningkatkan spritualitas. Ulama mengatakan, seluruh ibadah bertujuan mensucikan jiwa. Artinya, orang yang ibadahnya benar pasti spritualnya kuat. Jadi ibadah bukan sekadar menggugurkan kewajiban,” kata Dr. Ahzami Sami’un Jazul, MA, pemimpin Pondok Pesantren Darul Hikmah, Bekasi.

Spiritualitas yang terkandung dalam setiap ibadah, seperti dimaksud Ahzami, inilah yang menjadikan spiritulitas dalam ibadah haji bukan spiritulitas abrakadabra, yaitu nilai-nilai rohani yang didapat bak duren jatohan—tanpa pernah bekerja keras menanam dan merawat pohonnya. Dengan demikian, setiap Muslim harus memulai dari mendapatkan bibit rohani yang baik, tanah yang subur, hingga merawat pohon spiritualitas yang ditanamnya. Itulah rangkaian pencapaian spiritualitas dalam syahadat, shalat, puasa, dan zakat. Nah, saat ibadah haji, seluruh capaian spiritualitas itu berkumpul menjadi satu dalam klimaks ruhani yang tertinggi—yang efeknya disebutkan dengan haji mabrur.

Persoalan inilah tampaknya yang menjadi biangkerok dalam realitas memprihatinkan di kalangan “Duta Tuhan”; banyak di antara mereka yang sudah berhaji—bahkan ada yang sudah berkali-kali—tapi kadar spiritulitasnya masih saja rendah. Ini ditandai dengan interaksi sosialnya yang payah, disebabkan oleh penyakit hati (al-wahn) yang akut. Dalam bahasa Ahzami, “Duta Tuhan” seperti ini tak cepat merespon perintah Allah dalam segala bentuknya.

“Salah satu ciri haji mabrur itu banyak mengingat mati. Efek mengingat mati itu akan membuat kita takut menunda-nunda berbuat kebaikan, sehingga tanda haji mabrur adalah cepat merespon panggilan Allah. Apapun namanya: shalat berjamaah, puasa, dakwah, berjihad, sedekah, zakat, ini semua harus cepat dilakukan,” papar Ahzami.

Dalam konteks inilah kita dapat menelisik warna berislam sebagian besar jamaah haji kita, yaitu keshalehan yang dilakukan secara mendadak, yang diperlihatkan berbarengan dengan kesibukan persiapan berhaji. Menurut Ahzami, keshalehan mendadak ini berasal dari pemaham Islam yang masih berkutat dalam persoalan fikih hukum, belum menyentuh praktik ibadah yang benar dan mendalam. Akibat lainnya, seorang Muslim yang secara finansial dan fisik telah memenuhi syarat, kerap berkelit dari kewajiban berhaji dengan alasan “belum terpanggil” Jadi, pas memang, jika rukun Islam kelima ini masih menjadi momok yang harus dihindari, maka bandingan lurusnya adalah kualitas syahadat, shalat, puasa, dan zakatnya yang masih memprihatinkan.

Napak Tilas Kesempurnaan Berislam

Kepentingan seorang Muslim terhadap capaian spiritualitas prahaji adalah kepentingan strategis karena saat memasuki atmosfer haji, ia akan berhadapan dengan rute napak tilas kesempurnaan berislam. Rute itu dibuat—atas takdir-Nya—oleh sosok agung dalam sejarah haji, Ibrahim ‘alaihissalam dan keluarganya.

“Ibadah haji itu perintah yang istimewa dan unik. Kalau ibadah lain, misalnya puasa, dilakukan untuk meraih ketakwaan, ibadah haji justru harus berbekal takwa,” kata Agustian, Ketua Drupadi Foundation.

Bekal takwa ini, menurut Agustian, diisyaratkan Al-Quran sebagai konsekuensi pencapaian tauhid yang benar, yang telah dilakukan Nabi Ibrahim sebelum proses perjalanan haji. “Dan (ingatlah) Ibrahim, ketika dia berkata kepada kaumnya,Sembahlah Allah dan bertakwalah kepada-Nya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al-‘Ankabut [29]: 16).

Senada dengan Agustian, persiapan prahaji berupa capaian spiritualitas dalam ibadah Rukun Islam lainnya menurut Ahzami adalah bekal yang tak bisa ditawar-tawar.

“Dalam persiapan prahaji, kita harus paham manasik haji, dana yang dipakai harus halal, dan niat harus ikhlas karena Allah,” terang Ahzami.

Kepahaman, kehalalan, dan keikhlasan yang terkandung dalam persiapan prahaji ini menurut Ahzami merupakan intisari dari pencapaian spiritulitas ibadah harian seseorang. Jika ini telah menjadi karakter hidupnya, maka tahap berikutnya dapat dengan mudah dilaluinya.

“Saat berhaji, ia mengamalkan ibadahnya dengan ilmu sehingga hajinya benar mengikuti haji Nabi saw.,” sambung Ahzami.

Tahap penting berikutnya, yaitu pascahaji, seseorang akan mempertaruhkan proses napak tilas yang telah diikutinya. Menurut Ahzami, saat inilah kesempurnaan berislam seseorang terlihat, yaitu ketika ia kembali ke dalam kehidupan sosial, berbaur lagi dengan masyarakat. Nilai-nilai kesempurnaan Islam yang diajarkan Allah melalui rangkaian ibadah haji seperti ber-ihram, thawaf, jumrah, sa’i, tahallul, dan wukuf menemui implementasinya dalam kehidupan sosial.

Taat Responsif, Cerdas, dan Teladan

Ngefek atau tidak, ini persoalan pascahaji yang wajib dievaluasi, sebab berefek-tidaknya rangkaian ibadah haji dalam diri seseorang merupakan rangkaian pencapain spiritualitas prahaji dan sepanjang ritual haji berlangsung.

Efek pertama yang dapat segera tampak, menurut Dr. Amir Faishol Fath, dosen Sastra Arab Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, adalah ketaatan yang responsif, yaitu ketaatan kepada Allah dengan kesegeraan pelaksanaannya. Tak ada penundaan, apalagi tawar menawar. Ini merupakan nilai spiritulitas Ibrahim tertinggi.

“Seluruh perintah Allah direspon dengan cepat oleh Ibrahim tanpa ragu-ragu, sekalipun berdampak hukuman dibakar hidup-hidup, menyembelih anaknya sendiri, dan meninggalkan keluarga di sebuah tempat tandus tanpa penghuni,” kata Amir.

Selain ketaatan yang responsif, profil yang lahir sebagai efek ibadah haji adalah kecerdasan. Secara lugas Al-Quran menggambarkan kecerdasan Ibrahim sebagai kecerdasan ruhaniyah yang tinggi. “Tidakkah kamu memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim mengenai Tuhannya, karena Allah telah memberinya kerajaan (kekuasaan). Ketika Ibrahim berkata, “Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan,” dia berkata, “Aku pun dapat menghidupkan dan mematikan.” Ibrahim berkata, “Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat.” Maka bingunglah orang yang kafir itu. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim.” (QS. Al-Baqarah [2]: 258).

Ketaatan responsif dan kecerdasan ruhaniyah inilah yang kelak menjadi intisari keteladanan Ibrahim dan keluarganya. Ketaatan dan kecerdasan itu menjadi teladan karena Ibrahim berhasil melakukan transformasi spiritual kepada anak, istri, dan masyarakatnya. “Sungguh, telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya...” (QS. Al-Mumtahanah [60]: 4]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEKAN TARBIYAH

Film Sang Murabbi