SANG MURABBI THE MOVIE, SEDERET PERTANYAAN DAN TANTANGAN


Oleh: Muhammad Yulius

Tanpa adanya kepemilikan media yang lebih luas, variasi program akan terus berkurang. Sampai saat ini kita belum mampu menemukan cara untuk membangun kebijakan publik yang mendorong pemain baru masuk ke bisnis media ketika biaya produksi program jauh lebih murah ketimbang distribusi.”--Danny Schechter, Broadcaster dan Film Maker, penulis The Death of Media and The Fight to Save Democracy

Telah lama kita hidup dalam kungkungan tempurung politik-media Orde Baru yang melahirkan produk-produk broadcast dan sinema berwatak seragam: anti-demokrasi. Kita dibuat megap-megap oleh keharusan memelototi satu-satunya channel televisi, TVRI, dengan program-program yang disaring secara ketat oleh Departemen Penerangan. Tak peduli muak dan muntah-muntah, kita pun dimestikan memperbarui keyakinan secara terus-menerus tentang fakta sejarah versi film Pengkhianatan G 30 S bikinan pemerintah.

Pada awal 1990-an, seberkas cahaya menerobos lubang tempurung saat beberapa channel televisi komersial bermunculan. Perkembangan ini ditengarai sebagai jejak pertama bagi kaki demokrasi media di Indonesia, sekaligus tanda-tanda berakhirnya era monopoli media di tangan pemerintah. Kita mengalami euforia, dan puncaknya terjadi pada 1998 ketika genderang reformasi ditabuh dengan kencang. Reformasi kemudian mendorong dengan sangat drastis pertumbuhan media dengan memberangus aturan kepemilikian Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Media tumbuh dan tumbang mewarnai kemunculan era reformasi yang ternyata tidak mampu menjawab secara tuntas rentetan pertanyaan kita tentang proses demokratisasi media.

Perkembangan televisi komersial yang sangat cepat kerap dikaitkan dengan keterbukaan, keberagaman informasi, kedaulatan masyarakat untuk memilih dan menghilangnya peran negara dalam menentukan apa yang boleh dilihat dan didengar oleh rakyat. Tidak ada lagi pemerintah Orde Baru yang dapat memaksa seluruh penonton di Indonesia untuk menyaksikan pidato Presiden.

Dalam terminologi yang digunakan oleh Quester (1990), Indonesia berkembang dari negara yang semula menganut sistem pertelevisian limited programming ke arah sistem yang percaya pada kewenang konsumen untuk memilih (relying on choice) dan bahkan ke arah sistem yang menawarkan pilihan berlimpah (plentitude).

Dalam semangat optimistik, swastanisasi pertelevisian Indonesia ini memang bisa dilihat sebagai cermin runtuhnya hegemoni negara dalam arus demokratisasi politik. Proporsi ini bahkan mendapat dukungan dari ilustrasi bahwa pada masa-masa menjelang kejatuhan Soeharto (1998), stasiun-stasiun televisi swasta terkesan aktif membawa suara-suara kaum reformis dan secara gencar menyiarkan berita-berita dan opini yang menentang kekuasaan Orde Baru.

Optimisme semacam ini tidak berlebihan. Gagasan tentang superioritas sistem yang memberikan kewenangan kepada pihak swasta untuk memiliki dan mengembangkan media massa memang lazim dikumandangkan dalam konteks demokratisasi. Pemikir liberal seperti John C. Merril dalam The Imperatif of Freedom (1974) berargumen bahwa hanya dengan kebebasan kompetisi media yang beroperasi dengan sistem self deteminism tanpa tekanan pihak luar, demokrasi dapat dijalankan oleh media.

Dalam skema liberal tersebut, penguasaan pers dianggap secara ideal diserahkan kepada kelompok-kelompok atau individu-individu dalam masyarakat yang akan berkompetisi dalam sebuah pasar bebas ide. Dengan asumsi bahwa masyarakat terdiri atas individu rasional yang dapat dipercaya sanggup mengambil pilihan terbaik untuk kepentingan kolektif, kompetisi tersebut akan membuahkan hasil yang membawa kebaikan kepada seluruh masyarakat. Bila pemerintah atau kekuatan-kekuatan nonmedia diizinkan untuk mengontrol dan mengintervensi arus informasi, dikhawatirkan kewenangan tersebut akan disalahgunakan untuk menghambat arus informasi yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat luas untuk mengambil keputusan secara memadai dalam sistem demokrasi partisipatif.

Pluralitas informasi adalah keniscayaan dalam demokrasi, dan format ideal untuk menjamin ketersediaan keberagaman tersebut adalah dengan menyerahkan penguasaan media kepada pihak swasta. Di sisi lain, kompetisi dijustifikasi sebagai bagian dari pemberdayaan kedaulatan konsumen. Kehadiran beragam media baru digambarkan sebagai memberi kendali besar di tangan konsumen, lebih banyak pilihan, lebih memberdayakan individu, serta akan memberikan produk yang lebih murah bagi konsumen.

Privatisasi pertelevisian, dengan demikian, memberi ruang lebih bagi konsumen untuk menentukan pilihan ketimbang diarahkan oleh segelintir pengendali informasi, yang kerap dipegang oleh pemerintah. Kebebasan identik dengan ketiadaan sensor, intervensi pemerintah serta kebebasan untuk beroperasi tanpa hambatan dalam pasar. Kaum liberal percaya―atau berusaha membuat kita percaya―bahwa semakin banyak pilihan adalah semakin baik; semakin sedikit aturan adalah semakin baik. Regulasi terbaik adalah regulasi yang dikembangkan oleh komunitas media sendiri melalui serangkaian kode etik dan standar profesional.

Masalahnya, seluruh gambaran ideal di atas akan sekadar menjadi mimpi yang segera hilang begitu kita terjaga. Ketika tak ada kawalan, penguasaan televisi di tangan pelaku pasar justru bisa mengerucutkan―ketimbang memberagamkan―infromasi. Dan salah satu penyebab terpentingnya adalah bahwa saat ini mereka yang menggerakkan mesin industri media, termasuk film, bukanlah mereka yang memang peduli―apalagi bersedia mem-perjuangkan―demokrasi.

Pada kasus di Indonesia, harus selalu diingat bahwa privatisasi pertelevisian diprakarsai oleh para pengusaha domestik yang menjadi pelaku utama dalam kapitalisme semu (ersatz―meminjam istilah Yoshihara Kunio). Para pengusaha ini bukanlah kaum wirausahawan yang menanamkan investasi untuk mengembangkan industri jangka panjang, melainkan sekadar pencari keuntungan sesaat dengan memanfaatkan kedekatan mereka yang sedang berkuasa dan sebagian besar berkiprah terbatas pada sektor tersier. Para pengusaha ini adalah mereka yang justru sangat diuntungkan oleh sistem politik yang tidak demokratis yang memungkinkan pengambil keputusan politik membagi-bagi akses sumber daya terbatas dengan imbalan dukungan bagi pelanggengan kekuasaan tanpa perlu memberikan pertanggungjawaban secara terbuka kepada publik.

Dengan demikian, penyebab privatisasi pertelevisian di Indonesia pada dasarnya bukanlah liberalisasi politik atau bahkan liberalisasi ekonomi. Kebijakan tersebut dilahirkan untuk melayani kepentingan ekonomi kaum kapitalis domestik yang berhasrat memasuki sebuah sektor yang sebelumnya didominasi pemerintah. Para kapitalis yang merambah masuk ke dalam bisnis pertelevisian tersebut adalah kaum pedagang yang tidak saja tidak menaruh pada keterbukaan politik, melainkan juga tidak menginginkan sebuah ekonomi pasar terbuka yang memungkinkan terjadinya kompetisi objektif antar-para pengusaha, walaupun misalnya persaingan itu dibatasi di dalam negeri. Bisa ditebak, bisnis media broadcast (dan bisnis film dengan sendirinya) hanya mampu dimasuki oleh segelintir bagian dari sektor swasta.

Namun, Indonesia bukan satu-satunya negara dengan khasus khas. Secara global, negara lain di dunia juga menghadapi hal yang sama. Di Amerika, misalnya, perkembangan industri media di negara itu pun semakin menunjukkan watak anti-demokrasi. Salah satu indikatornya adalah isi. Bagi media komersial yang beroperasi dalam sistem kapitalistik, informasi adalah komoditas yang harus dikemas, didistribusikan, dan dijual dalam beragam cara dan konteks yang menjamin kelanggengan komersial media dan, yang juga penting, yang menjamin kelanggengan sistem ekonomi yang memungkinkan segenap kepentingan dalam jaringan yang melekat pada media dapat memaksimalkan keuntungan. Isi media, dengan demikian, tidak ada hubungannya dengan upaya mencerahkan masyarakat.

Korelasi watak anti-demokrasi ini adalah modal. Bisnis media broadcast dan film membutuhkan investasi yang jauh lebih besar daripada media lain, baik karena kebutuhan akan penyediaan infrastruktur penyiaran, teknologi broadcasting yang terus berkembang, maupun karena kebutuhan pembiayaan (produksi maupun promosi). Kebutuhan investasi ini akan menjadi semakin tinggi sejalan dengan meningkatnya kompetisi yang terjadi akibat, misalnya, bermunculannya para pemain baru. Implikasi dari kondisi ini adalah terciptanya entry barrier bagi pemodal indpenden yang cekak dan pas-pasan--namun memiki idealisme yang tinggi―sehingga yang lebih mungkin memasuki pasar hanyalah para pemodal besar yang memiliki ikatan jaringan dengan sistem bisnis yang lebih luas, yang sangat mungkin core business-nya semula bukanlah hal yang terkait dengan media/sinema. Akibat investasi awal yang tinggi, akan ada pula kebutuhan agar laju pengembalian investasi bisa berlangsung dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama, sehingga para pengusaha akan memainkan “kartu-kartu lama” yang telah mengalami modifikasi. Dalam konteks ini, sangat bisa dipahami bahwa segenap gagasan tentang media (termasuk film) sebagai 'agen pencerahan' tidak pernah menjadi pertimbangan yang serius.

Para pebisnis media berskala besar ini tidak akan membiarkankan media yang dikuasainya menjadi sarana penyebar informasi yang dapat mengancam kepentingan ekonomi mereka. Media akan memperlakukan setiap oposisi yang membahayakan kepentingan ekonomi dominan sebagai tidak absah dan dimarjinalkan sehingga tidak terkesan membahayakan.

Akibatnya, secara tak terelakkan stasiun teve komersial akan didominasi oleh tontonan dengan nilai hiburan yang tinggi yang ditujukan pada kelas menengah dan bawah. Bahkan dapat dikatakan bahwa stasiun televisi komersial berfungsi sebagai obat bius untuk melenakan penonton agar terlupa kepada realitas keberlangsungan struktur ekonomi dan politik yang timpang dan eksploitatif, yang diindikasikan oleh bertambahnya kuantitas dan kualitas kemiskinan, yang sangat mungkin membutuhkan upaya bersama untuk mengubah secara mendasar struktur tersebut.

Namun, ancaman bagi demokrasi ini tidak saja terkait dengan isi, namun juga dengan struktur industri media itu sendiri. Kepemilikan media semakin mencuat, sehingga terpusat hanya di tangan segelintir pemodal raksasa tertentu. Dalam konteks ini, watak media yang antidemokrasi memperlihatkan alasan mengapa seluruh hal yang telah dipaparkan di atas menjadi lazim adanya.

Jika kondisi ini dibiarkan, watak antidemokrasi media akan menjerumuskan masyarakat kepada satu kondisi berbahaya, yaitu kebekuan opini. Masyarakat beropini bahwa “pemilik bisnis media adalah orang bermodal besar, sehingga pemodal kecil tidak perlu terjun ke bisnis media”; “karena modal besar, isi media dibuat untuk memenuhi hasrat kembali modal yang cepat, maka diproduksilah produk-produk media yang berfungsi sebagai hiburan”; “karena dunia media bersifat menghibur, isi dan kepemilikan media tidak akan pernah berurusan dengan upaya pencerahan dan edukasi bagi masyarakat”.

Premis inilah yang menjawab nyaris seluruh kondisi dunia broadcast dan perfilman Indonesia yang menimbulkan banyak pertanyaan; dari tema-tema yang, dari periode ke periode, mengalami daur ulang dan penyeragaman sampai kepemilikan yang tidak beranjak dari segelintir orang bermodal besar.

MEMBENTUK KESADARAN AKAN SUDUT PANDANG YANG BERBEDA

Banyak aktivis media yang mulai menanamkan harapan pada pertumbuhan gerakan film independen. Doku-demokrasi, begitu mereka menyebut gerakan itu, tengah tumbuh dengan adanya film indie dan dokumenter yang merevolusi sistem media kita.

Tahun 2004 disebut-sebut sebagai “tahun dokumenter” oleh panyak penulis media. Fahrenheit 9/11 karya Michael Moore, misalnya, menunjukkan bahwa ada pasar global yang besar (mencapai angka penjualan setengah miliar sampai saat ini) untuk sudut pandang yang berbeda yang sanggup bersaing dengan film-film mainstream yang menarik perhatian para pencinta film. Keberhasilan lainnya adalah menangnya film Weapons of Mass Deception karya Dannny Schechter dalam Festival Film Sundance dan festival-festival dunia lainnya .

Namun, makna yang lebih kuat dari kemunculan dua film di atas adalah bahwa saat ini telah muncul budaya perlawanan yang berbanding langsung dengan penurunan kualitas program televisi dan film kita.

Banyak festival film yang populer dan tersebar di seluruh dunia juga membuktikan kepentingan dan pemahaman publik yang terus berkembang serta terkait dengan sudut pandang dan tema-tema yang berbeda yang diangkat oleh film-film tersebut. Mereka telah menciptakan sebuah fondasi untuk memutar film independen, dan menyediakan tempat pada pecinta film untuk berinteraksi dengan pembuat film dengan mengajukan pertanyaan, ambil bagian dalam diskusi panel dan memilih film dalam kompetisi.

Memang, menurut Schechter, film-film independen ini tidak akan mengubah dunia, tapi mereka mampu dan terbukti bisa membentuk kesadaran serta memberikan inspirasi bagi publik untuk menyadari hal-hal yang dapat dan layak diperjuangkan.

KETAKUTAN UNTUK MELAWAN

Dalam kasus Indonesia, stereotipe watak film-film mainstream yang khas: berbiaya besar, berdaya lapar pada balik-modal yang cepat, bertema dangkal dan renyah, berbinar bintang cantik dan muda, sedikit atau banyak telah menggentarkan nyali para penggiat film-film independen untuk bermain di ranah publik yang lebih luas. Namun, memang, masalah ini sifatnya sangat kompleks, karena juga mencakup soal pendidikan dan budaya. Masalah ini juga terkait dengan soal kebijakan pemerintah dan prioritas regulasi. Belum lagi sorotan kelompok-kelompok kritis masyarakat. Apakah aktivis media dan filmmaker harus melaksanakan kewajiban kepentingan publik mereka?

Mestinya iya, karena publik bagaimanapun membutuhkan keberagaman kepemilikan (diversity of ownership) media sekaligus keberagaman isi (diversity of content) media. Jika dua kebutuhan ini tidak segera dipenuhi oleh aktivis media/film, maka publik akan terseret pada logika sangkaan mereka: bahwa di dunia ini semua pemilik media adalah seragam (yaitu hanya orang-orang yang punya akses kuat) sebagaimana isi media adalah seragam (yaitu media yang isinya sama saja dengan media lainnya). Mereka tak memiliki bayangan sedikit pun tentang keberagaman, alternatif, atau mainstream baru.

Ketakutan untuk melawan, juga menyebabkan tersendatnya proses transformasi gagasan pada level yang lebih luas. Jika para aktivis media/film telah mampu bermain pada level kelompok pendukungnya, apakah mereka juga mampu bermain pada level khalayak yang lebih luas? Ini harus dibuktikan. Fungsi pembuktian ini bukan sekadar untuk menunjukkan bahwa aktivis media/film mampu menandingi para filmmaker mainstream dalam hal menguasai sinematografi, tapi yang juga sangat penting adalah memberi warning kepada para pemain besar di level mainstream bahwa mereka tidak bisa semena-semena meracuni selera publik dengan hasrat bisnis mereka yang buas itu. Mereka harus mulai berpikir untuk mencari tema-tema lain selain tema-tema dangkal yang dibuat ngeseks, lucu, dan seram, karena telah muncul gerakan yang dapat mengobrak-abrik tatanan selera pasar yang selama ini menjadi takhayul besar bagi mereka. Gerakan ini membawa misi besar, yaitu transformasi gagasan pergerakan, dengan upaya coverage khalayak yang juga lebih luas lagi.

Pada beberapa kasus, para pemain mainstream sesungguhnya sudah mulai merasa untuk berhati-hati. Munculnya kelompok-kelompok kritis masyarakat yang mencoba memberikan desakan kuat agar sebuah film segera dilikuidasi karena ketidaklayakannya, dapat membuat mereka khawatir terhadap kemungkinan hilangnya sejumlah uang mereka hanya karena film produksi mereka dilarang beredar. Mereka juga mulai melirik kemungkinan-kemungkinan untuk memproduksi film dengan kualitas tema yang baik, meski lagi-lagi semuanya bermuara pada satu kepentingan tunggal: uang.

Munculnya film Ayat-Ayat Cinta patut mendapat catatan bagaimana publik yang mulai merasa penting untuk memilih-milih tema tontonan, sekaligus juga menjadi contoh yang pas untuk fenomena mulai tertariknya para pemain mainstream untuk menggarap tema-tema yang berbeda dengan tema-tema regular mereka (seks, humor, horor).


KASUS SANG MURABBI: BEBERAPA PERTANYAAN RETROSPEKSI

Film produksi Majelis Budaya Rakyat ini nyaris memenuhi semua aspek dari gerakan doku-demokrasi. Film ini berbiaya murah, dengan tema berbeda, dan dengan sistem pemasaran yang melawan regulasi film mainstream. Lebih dari itu, Sang Murabbi juga berhasil mengidentifikasikan publik penontonnya, yaitu para aktivis dakwah, sekaligus memetakan kekuatan kedekatan antara idealisme-pesan film dan pandangan-dunia publiknya. Sang Murabbi juga menjadi katup-pelepas kesadaran publik yang telah terbangun tapi belum memiliki bentuk; publik telah memiliki kesadaran akan pentingnya menguasai ranah media/film untuk keberlangsungan proses transformasi ide-ide, namun mereka masih bingung―dan karenanya harus diarahkan―untuk menemukan bentuknya.

Dalam konteks transformasi gagasan, Sang Murabbi “telah selesai” menjalankan tugasnya sebagai film independen. Publik penontonnya yang terbatas dan jelas membuat proses gerakan doku-demokrasi berjalan dengan baik. Memang, ada beberapa kritik yang masuk, tapi level kritik itu pada umumnya baru sekadar menunjukkan tipologi akibat kooptasi konsep produk broadcast dan sinema masa orde baru yang anti-demokrasi. Sebagaian besar “kritikus” masih terperangkap dalam kotak yang membelenggu pikirannya tentang konsep film dan dakwah, yang jeruji perangkapnya berasal dari konsep-konsep film mainstream, misalnya tentang dakwah yang berarti “mengajak orang yang belum tahu untuk menjadi tahu” (Hendra Veejay, Kekontraproduktifan Dakwah Sang Murabbi, Pikiran Rakyat Online). Padahal, doku-demokrasi Sang Murabbi sudah bergerak jauh ke luar kotak: bahwa dakwah juga harus berarti mengajak orang yang sudah tahu untuk memelihara pengetahuannya, karena ambang batas pengetahuan adalah kematian.

Nah, jika demikian, performa Sang Murabbi sebagai film yang diharapkan oleh publik penontonnya, telah terbentuk. Namun, apakah Sang Murabbi akan selesai menjadi “sekadar” film gerakan dengan jangkauan-gerakannya yang terbatas? Apakah transformasi gagasan besar yang diangkut Sang Murabbi telah menemukan pelabuhan yang sesungguhnya? Apakah Sang Murabbi justru sekadar menjadi maket dari tugas besar yang sesungguhnya sedang menanti untuk dikerjakan: yaitu publik umat Islam yang juga berhak untuk menerima transformasi gagasan besar itu? Dalam konteks ranah film Indonesia, apakah gerakan doku-demokrasi Sang Murabbi telah membuat para pemain mainstream mau melirik dan mencatat kehadirannya, sebagaimana kemunculan Kuldesak pada era-era awal kebangkitan film Indonesia? Atau malah mereka tidak tahu dan tidak peduli sama sekali? Lantas, bagaimana Sang Murabbi dapat memperluas jangkauan pengaruhnya dan memperlebar kalangan publiknya, jika ternyata publiknya juga menjadi publik bagi film-film mainstream seperti Ayat-Ayat Cinta, Naga Bonar Jadi 2, Laskar Pelangi, Ketika Cinta Bertasbih, Doa yang Mengancam? Lantas, bagaimana Sang Murabbi dapat menjaga komitmen publik penontonnya jika persoalan kemasan (VCD dan DVD) saja ternyata menyisakan persoalan, karena kebanyakan mereka adalah komunitas insan copas (copy-paste) yang terbiasa mengakses medium audio visual secara gratis dengan meng-copy dari teman-temannya?

SANG MURABBI THE MOVIE: UPAYA MENJAWAB TANTANGAN

Rentetan pertanyaan di atas sesungguhnya bermuara pada satu pertanyaan: apakah Sang Murabbi mampu menjawab bombardir pertanyaan itu? Jika mampu, bagaimana cara Sang Murabbi melakukannya?

Sang Murabbi sesungguhnya menghadapi situasi yang relatif sama seperti para pemain mainstream. Mereka berhadapan dengan publik penonton yang perlahan namun pasti mengalami perkembangan dalam banyak segi, terutama segi apresiasi nilai pesan sebuah film. Publik film Indonesia tidak lagi dapat disamakan dengan publik film Indonesia pada era 80-an atau 90-an, terutama saat film-film panas mendominasi dan menjadi pilihan aman para pemain mainstream. Kini publik penonton Indonesia dapat menilai kualitas sebuah film melalui review melalui media internet, sebelum mereka menjatuhkan pilihan untuk menonton atau tidak. Jangan abaikan pengaruh review film yang tumbuh lewat, bukan saja, website komersial melainkan bahkan lebih banyak lagi melalui jaringan website gratisan seperti friendster, mulitply, wordpress, blogspot, dll.

Kemunculan review film melalui medium internet itu sedikit atau banyak telah membentuk kesadaran baru publik penonton untuk memutuskan pilihan yang baik untuk menonton film. Nah, hal ini menjadi peluang yang baik bagi Sang Murabbi versi The Movie untuk menjawab rentetan pertanyaan di atas, karena pada kasus Sang Murabbi versi VCD dan DVD medium internet telah sukses membantunya nyaris dalam segala hal: publikasi, pemasaran, review, kontak jaringan, dll.

Memang, persoalannya tidak kemudian menjadi sederhana. Tetap dibutuhkan kekuatan lain untuk membuat Sang Murabbi The Movie layak ditonton oleh publik penonton film Indonesia. Persoalan promosi, kemasan, dan konsep cerita harus mendapat perhatian khusus mengingat image Sang Murabbi telah lekat sebagai film independen. Bisa dikatakan, di titik inilah pekerjaan terberat Sang Murabbi The Movie. Meski publik penonton telah mulai bertumbuh kecerdasannya, namun mereka tetap berada dalam kerangkeng film mainstream. Jika Sang Murabbi The Movie mampu mengatasi persoalan ini, maka kehadiran film ini tidak sekadar dicatat sebagai penambah daftar panjang film-film bernapas baru dalam film Indonesia, namun juga dilihat sebagai sebuah manuver fenomenal dari gerakan dakwah di Indonesia yang tidak melulu berkutat pada upaya penegakkan syariat Islam dalam produk regulasi negara--sesuatu yang bahkan dalam sejarah gerakan Islam internasional baru sekadar menjadi utopia. Nah, pertanyaannya kembali ke atas: mampukan Sang Murabbi The Movie menjawab rentetan pertanyaan di atas? Jika mampu maka bagaimana caranya?

SANG MURABBI THE MOVIE MESTINYA BUKAN FILM DAUR ULANG

Gagasan menggelindingkan Sang Murabbi The Movie memang terbilang sebuah terobosan luar biasa. Artinya, film yang diawali oleh gagasan mentransformasi ide tokoh kepada pengagumnya ini telah berjalan dalam format VCD/DVD dengan publik terbatas dan jelas, lalu akan diangkut ke wilayah yang lebih luas. Ini kurang lebih mirip dengan beberapa sinetron yang kemudian dibuat versi the movie-nya, misalnya Di Sini Ada Setan The Movie atau Suami-Suami Takut Istri The Movie, meski harus buru-buru ditegaskan bahwa keduanya berbeda dalam hal isi dan publik penonton. Sang Murabbi versi VCD/DVD adalah film (bukan sinetron televisi, sehingga eksklusvitias produknya terjaga dari jeratan jam tayang, rating, iklan, kompetitor, atau stasiun teve), sementara dua sinetron tersebut adalah produk broadcast yang bertumpu pada satu-satunya logika-nilai keberhasilan program teve: rating dan iklan―yang berbanding lurus dengan capaian jumlah penonton.

Namun, sebagai versi dari produk film yang ditujukan sebagai upaya ekspansi nilai-nilai gagasan (baca: dakwah) ke wilayah yang lebih luas dan heterogen, Sang Murabbi The Movie harus tampil sebagai produk yang fresh, bukan produk daur ulang. Ini untuk menghadapi ekspektasi publik penonton Sang Murabbi versi VCD/DVD yang digerakkan oleh rasa ingin tahu mereka: apakah Sang Murabbi The Movie akan menampilkan warna yang sama sekali baru dari versi sebelumnya, atau versi ini akan sekadar menjadi film “tambal sulam” dengan penambahan sisi baru di sana sini? Sementara itu, ini yang berat, publik penonton Indonesia akan mencoba membanding-bandingkan Sang Murabbi dengan film mainstream yang mereka anggap berhasil seperti Ayat-Ayat Cinta atau Laskar Pelangi, yang sempat merajai bioskop Indonesia.

Sang Murabbi The Movie juga harus lebih banyak menggali hubungan antara kondisi kekinian publik penontonnya dengan fragmentasi kehidupan Almarhum Ust. Rahmat Abdullah, terutama kehidupan masa lalunya, sehingga konsep sketsa tidak lagi menjadi satu-satunya kekhasan film ini. Sang Murabbi The Movie harus memberikan sesuatu yang lain dan baru lagi, agar versi ini tidak dianggap sebagai bagian kedua dari Sang Murabbi versi VCD/DVD (bukan versi baru). Sang Murabbi The Movie juga harus memperluas dan mempertajam konsep “foto berbingkai” untuk membantu konsep sketsa yang memang dipilih karena alasan idealisme dalam menjaga orisinalitas cerita (meski tidak seratus persen). Konsep “foto berbingkai” dapat bermain dengan berangkat dari konteks kekinian kehidupan yang kompleks dan kritis (sebagai bingkai), yang pengaruh-pengaruhnya menjadi pintu masuk ke dalam realitas (foto) masa lalu.

Sang Murabbi The Movie juga harus berani mencari pemain baru dan setting masa lalu yang lebih mendekati aslinya agar taste doku-dramanya makin tajam. Keseriusan film Gie untuk urusan setting masa lalu patut dijadikan contoh. yulius1073@yahoo.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEKAN TARBIYAH

Film Sang Murabbi