PERANG KOTA DAN CERMIN RETAK PERADABAN: MEMBACA
FILM LEWAT KEKERUHAN REALITAS URBAN
Oleh: Muhammad Yulius
“Kota bukan hanya tempat tinggal, ia adalah medan
pertarungan siapa yang boleh hidup dan siapa yang dilenyapkan secara
pelan-pelan.”
Begitu kesan pertama saya usai menyaksikan Perang
Kota, sebuah film yang tak sekadar bermain dalam ranah sinema aksi, tetapi
juga bersuara lantang soal luka sosial yang lama dipendam oleh kota-kota besar
di Indonesia. Film ini bukan hanya tentang peluru, perlawanan, atau ledakan. Ia
adalah kisah tentang kota sebagai mesin penindas, tentang sistem yang
membungkam, dan tentang manusia-manusia yang tersesat di antara beton dan
harapan yang lapuk. Lewat pendekatan estetik yang realistis dan narasi yang
tidak sentimental, Perang Kota menghadirkan kembali pertanyaan klasik:
“Siapa yang memiliki kota?” Apakah kota adalah milik warganya, atau milik
mereka yang punya kuasa membeli dan memerintah? Pertanyaan fundamental ini
menjadi poros utama yang menggerakkan seluruh lapisan naratif dan visual film,
menyoroti kompleksitas relasi kuasa dalam lanskap urban kontemporer.
I. Kota Sebagai Medan Tempur: Teori Urban dan
Sinema
Dalam pendekatan teori urban dari Henri Lefebvre,
kota bukan sekadar ruang geografis, melainkan ruang sosial yang diproduksi
secara politik dan ekonomi. Film ini secara tepat menangkap esensi itu. Kota
dalam Perang Kota adalah medan kuasa yang timpang. Ruang-ruang hidup
warga miskin kota seperti kampung padat, pasar rakyat, dan lorong
gelap—semuanya tampil dalam keadaan terancam. Ancaman ini bukan hanya datang
dari kekuatan fisik berupa aparat atau buldoser, melainkan juga dari
kebijakan-kebijakan yang bias kepentingan, serta narasi pembangunan yang
mengeliminasi keberadaan mereka.
Yang menarik, kota dalam film ini tidak pernah
disebutkan secara eksplisit. Tidak ada label “Jakarta”, “Surabaya”, atau kota
lainnya. Ini adalah strategi simbolik yang jitu, karena membuat kota dalam Perang
Kota bisa menjadi kota mana saja. Ia menjadi metapolis, kota imajiner yang
justru terasa sangat nyata karena keseragamannya dengan kondisi kota-kota besar
di Indonesia: penuh ketimpangan, konflik horizontal, dan represi dari atas.
Penulis skenario dan sutradara dengan cerdas menghindari lokalisasi geografis
yang spesifik, sehingga resonansi film ini dapat menyebar lebih luas, menyentuh
siapapun yang hidup dalam realitas urban yang serupa di berbagai belahan dunia.
Konsep metapolis ini menggarisbawahi universalitas tema penindasan urban,
melampaui batas-batas geografis dan budaya. Ini adalah langkah berani yang
menghindari jebakan partikularisme, dan justru memperkuat pesan universal
tentang ketidakadilan struktural yang mengakar dalam pembangunan perkotaan.
Sinema urban seperti ini mengingatkan kita pada
pendekatan Third Cinema (Sinema Dunia Ketiga) yang berkembang di Amerika
Latin, di mana film tidak lagi menjadi hiburan kapitalistik, tetapi alat
pembebasan, suara kritik, dan representasi marjinal. Perang Kota seolah
mengambil semangat itu dan menerapkannya dalam konteks Indonesia kekinian. Film
ini, dalam arti sebenarnya, adalah sebuah manifestasi dari "sinema
perlawanan," yang menggunakan medium film untuk membongkar
struktur-struktur penindasan dan memberikan suara kepada mereka yang seringkali
dibungkam. Pendekatan ini secara sadar menempatkan film sebagai agen perubahan
sosial, bukan sekadar komoditas pasar. Ia menantang penonton untuk melihat di
balik permukaan gemerlap kota dan menemukan kerentanan serta perjuangan yang
terjadi di dalamnya. Lebih dari sekadar potret, Perang Kota adalah
jeritan dari pinggir jurang peradaban yang dibangun di atas fondasi
ketidakadilan.
Diskursus tentang kota sebagai ruang sosial tidak
hanya terbatas pada teori Lefebvre. Kita bisa melihat bagaimana film ini juga
merefleksikan gagasan tentang "kota sebagai teks" di mana setiap
elemen urban—dari arsitektur hingga interaksi sosial—dapat dibaca dan diinterpretasikan
sebagai penanda makna. Dalam Perang Kota, teks urban ini adalah teks
penderitaan dan perlawanan. Lorong-lorong sempit yang menjadi labirin bagi
Jaka, pasar-pasar tradisional yang direduksi menjadi target penggusuran, hingga
gedung-gedung tinggi yang menjulang sebagai simbol kekuatan—semuanya berfungsi
sebagai bagian dari narasi visual yang koheren. Kota menjadi karakter itu
sendiri, sebuah entitas hidup yang bernafas dengan ritme penindasan dan
perlawanan.
Kamera dalam film ini tidak hanya merekam, tetapi juga
mengobservasi. Ia menyoroti detail-detail kecil yang seringkali terabaikan
dalam narasi pembangunan yang serba megah. Misalnya, retakan pada dinding
bangunan, sampah yang berserakan di gang-gang sempit, atau tatapan mata kosong
dari para korban penggusuran. Detail-detail ini membangun sebuah realitas yang
imersif, jauh dari citra kota metropolitan yang dipoles dan steril. Ini adalah
kota yang kotor, bising, dan brutal, namun juga kota yang menyimpan daya tahan
dan semangat perlawanan yang tak terduga.
Implikasi sosiologis dari representasi kota ini
sangat dalam. Film ini menyoroti bagaimana urbanisasi yang tidak terencana dan
pembangunan yang berorientasi kapital telah menciptakan jurang pemisah yang
kian lebar antara kaum privilege dan kaum marginal. Ia mengajak
penonton untuk mempertanyakan model pembangunan yang mengorbankan manusia demi
kemajuan material, yang mendefinisikan "kemajuan" hanya dalam konteks
pertumbuhan ekonomi semata, tanpa memperhatikan dimensi kemanusiaan dan
keadilan sosial. Perang Kota menjadi sebuah kritik tajam terhadap
hegemoni narasi pembangunan neo-liberal yang seringkali mengabaikan suara-suara
dari bawah.
II. Jaka, Vigilante, dan Krisis Identitas
Maskulinitas Modern
Jaka (Chicco Jerikho) adalah protagonis yang
kompleks. Ia bukan sosok heroik dalam definisi klasik. Ia rapuh, penuh luka
masa lalu, dan sering dilanda ambiguitas moral. Sebagai mantan aparat yang
kemudian berbalik arah, Jaka menjadi semacam vigilante—seseorang yang
menegakkan keadilan karena negara gagal melakukannya. Dalam teori karakter
antihero dari Robert McKee, tokoh seperti Jaka adalah produk dari
ketidakharmonisan sosial. Mereka bangkit bukan karena ingin menjadi pahlawan,
tetapi karena merasa tidak ada pilihan lain. Jaka adalah cerminan maskulinitas
urban yang kehilangan jangkar: ia bukan lagi bagian dari institusi, tetapi juga
tidak menemukan tempat dalam komunitas.
Krisis identitas maskulinitas Jaka ini menjadi
salah satu pilar analisis karakter yang paling kuat dalam film. Ia adalah
lelaki yang terasing, terjebak di antara loyalitas masa lalu dan dorongan moral
yang kian kuat untuk bertindak. Kehilangan jangkarnya tidak hanya berarti
kehilangan pekerjaan atau status sosial, tetapi juga kehilangan pegangan dalam
memaknai keberadaannya di tengah masyarakat yang rusak. Ini adalah representasi
maskulinitas yang terluka, yang mencoba mencari makna dan tujuan dalam
kekacauan. Rasa kesepian dan keterasingan Jaka bukan sekadar plot device,
melainkan refleksi dari kondisi psikologis individu yang tergilas oleh sistem.
Bandingkan dengan karakter Travis Bickle dalam Taxi
Driver (1976), yang juga mantan aparat (veteran) dan memilih jalur
kekerasan sebagai jalan moralnya sendiri. Namun, ada perbedaan fundamental.
Jika Travis Bickle digambarkan sebagai sosok yang semakin terasing dan
kehilangan empati, Jaka tidak demikian. Ia masih punya rasa keadilan, dan itu
yang menjadikannya manusiawi. Jaka bukan sekadar mesin balas dendam; ia adalah
individu yang berjuang dengan dilema moral yang mendalam, di mana batas antara
benar dan salah menjadi kabur. Justru dalam dilema dan tindakan ekstremnya,
kita bisa memahami betapa rusaknya tatanan sosial yang membuat seseorang harus
melawan sendirian. Keberanian film ini dalam menampilkan kerentanan dan
keambiguan moral Jaka adalah salah satu kekuatan terbesarnya. Ia menghindari
narasi hitam-putih yang simplistis dan justru merangkul kompleksitas psikologis
tokohnya, merefleksikan kompleksitas realitas yang ia hadapi. Jaka adalah
pengingat bahwa pahlawan sejati kadang muncul dari kegelapan, bukan karena
kekuatan super, melainkan karena kepekaan nurani yang terusik oleh
ketidakadilan.
Lebih jauh, karakter Jaka juga dapat dianalisis
melalui lensa psikoanalisis. Trauma masa lalunya, yang mungkin berkaitan dengan
pengalaman sebagai aparat dan kemudian berbalik arah, membentuk psikisnya saat
ini. Tindakan vigilante-nya bisa jadi merupakan bentuk katarsis, upaya
untuk menebus kesalahan masa lalu atau untuk menemukan kembali rasa kendali
dalam dunia yang kacau. Pergulatan internal Jaka ini diekspresikan melalui
akting Chicco Jerikho yang subtil namun penuh daya. Sorot mata yang lelah,
gerakan tubuh yang terbebani, hingga heningnya dialog pada momen-momen
tertentu, semuanya berkontribusi pada pembangunan karakter yang
multidimensional.
Konflik Jaka juga mencerminkan fenomena umum dalam
masyarakat modern, di mana individu seringkali merasa tidak berdaya di hadapan
birokrasi dan kekuasaan yang impersonal. Kehadiran vigilante seperti
Jaka menjadi semacam katup pengaman sosial, sebuah manifestasi dari frustrasi
kolektif terhadap kegagalan institusi dalam menegakkan keadilan. Namun, film
ini tidak glorifikasi tindakan vigilante. Sebaliknya, ia menunjukkan
konsekuensi pahit dari jalan yang dipilih Jaka, menyoroti betapa sendiriannya
perjuangan melawan sistem yang terorganisir. Ini adalah potret yang jujur
tentang harga yang harus dibayar oleh mereka yang memilih berdiri di garis
depan perlawanan.
III. Kekerasan yang Bersuara: Tubuh, Luka, dan
Trauma Kolektif
Perang Kota tidak main-main soal visualisasi kekerasan. Namun
kekerasan dalam film ini bukan gratuitous violence (kekerasan yang
dipamerkan untuk efek dramatis), melainkan kekerasan yang memiliki konteks
sosiopolitik. Kamera tidak mengglorifikasi luka, tapi menggunakannya sebagai
medium naratif. Setiap luka di tubuh Jaka, setiap darah yang mengalir dari
korban penggusuran, adalah bagian dari “arsip luka kolektif” warga kota yang
terpinggirkan. Kekerasan di sini bukan sekadar elemen aksi, melainkan bahasa
visual yang menyampaikan pesan mendalam tentang penderitaan yang tak terlihat,
dan seringkali diabaikan, oleh masyarakat luas. Tubuh-tubuh yang terluka
menjadi prasasti hidup dari sejarah penindasan.
Kita bisa melihat pendekatan ini sebagai bentuk
estetika trauma, mirip dengan teori dari Cathy Caruth dalam kajian trauma
studies, bahwa representasi kekerasan bukan sekadar pengulangan kejadian, tapi
upaya untuk menandai apa yang belum bisa dipahami secara utuh oleh masyarakat.
Film ini berhasil memvisualisasikan trauma secara subtil namun kuat, tidak
melalui ekspresi histeris, melainkan melalui detail-detail kecil yang menumpuk
dan menciptakan gambaran besar tentang kepedihan. Ini adalah pendekatan yang
matang, yang mengundang penonton untuk tidak hanya menyaksikan kekerasan,
tetapi juga merasakannya, memahami akar penyebabnya, dan merefleksikan
dampaknya pada jiwa kolektif.
Adegan-adegan penggusuran dalam film sangat kuat
secara sinematik. Kamera handheld yang goyah, suara benturan yang kasar,
dan jeritan warga yang panik membentuk suasana dokumenter yang sangat realis.
Penggunaan teknik sinematik ini secara efektif menciptakan imersi yang
mendalam, menempatkan penonton seolah-olah berada di tengah-tengah peristiwa,
merasakan kepanikan dan ketidakberdayaan para korban. Dalam satu adegan,
seorang ibu kehilangan rumah dan terpaksa tinggal di tenda darurat. Ia hanya
berkata, “Kami bukan maling, kenapa harus dipaksa pergi?” Kata-kata itu lebih
memukul daripada peluru. Dialog yang sederhana namun penuh makna ini
menunjukkan kekuatan naratif film dalam menyampaikan penderitaan melalui
resonansi emosional yang kuat, tanpa perlu ekses dramatisasi. Ini adalah penegasan
bahwa kekerasan verbal, atau bahkan pertanyaan retoris yang lahir dari
keputusasaan, dapat memiliki dampak yang lebih dahsyat daripada kekerasan
fisik.
Analisis lebih lanjut terhadap visualisasi
kekerasan dalam film ini mengungkapkan bagaimana Perang Kota menggunakan
tubuh sebagai medan semiotik. Tubuh Jaka yang lebam dan berdarah bukan hanya
menunjukkan kelelahan fisik, tetapi juga kelelahan mental dan spiritual.
Tubuh-tubuh warga yang dipaksa keluar dari rumah mereka, yang tergusur, menjadi
simbol dari kerapuhan dan kerentanan eksistensi di hadapan kekuatan kapital dan
negara. Film ini dengan cerdas menghindari estetika kekerasan yang sensasional
dan justru fokus pada dampaknya, pada luka yang tertinggal, baik fisik maupun
psikis.
Penggunaan suara dalam adegan-adegan kekerasan juga
patut diacungi jempol. Suara benturan yang terasa raw, jeritan yang
autentik, dan keheningan yang tiba-tiba, semuanya berkontribusi pada pengalaman
yang mencekam. Ini bukan sekadar efek suara; ini adalah orkestrasi penderitaan yang
dirancang untuk menggugah kesadaran penonton. Film ini menolak untuk
"memoles" kekerasan agar terlihat estetis, sebaliknya, ia
menyajikannya dalam bentuk yang paling jujur dan brutal, memaksa penonton untuk
tidak berpaling.
Secara keseluruhan, bagian ini menunjukkan
bagaimana Perang Kota menggunakan kekerasan sebagai alat naratif yang
kuat, bukan sebagai hiburan murahan. Film ini berhasil mengangkat kekerasan
dari ranah fisik ke ranah sosiopolitik, menjadikannya sebuah komentar tajam
tentang kondisi masyarakat yang rentan terhadap penindasan.
IV. Perempuan yang Melawan: Sari dan Media
Alternatif
Sari (Tara Basro) adalah karakter penting dalam
membentuk keseimbangan naratif film ini. Sebagai jurnalis independen, ia
menghadirkan perspektif warga sipil yang kritis, cerdas, dan berani. Ia bukan
sekadar karakter pendukung. Justru lewat lensanya, banyak realitas kelam kota
bisa terekam. Peran Sari menyoroti betapa krusialnya keberadaan media yang
independen di tengah arus informasi yang kian terkontrol. Ia adalah mata dan
telinga bagi mereka yang tak bersuara, jembatan antara realitas di lapangan dan
kesadaran publik.
Sari adalah representasi dari media alternatif,
sebuah kanal suara yang hari ini kian dibungkam oleh kapitalisme media arus
utama. Saat kameranya dihancurkan aparat, itu bukan hanya aksi represif, tapi
juga metafora bahwa negara tak ingin dilihat dari sisi yang sebenarnya. Adegan
ini secara simbolis menggambarkan upaya sistematis untuk memadamkan kebenaran,
untuk mengaburkan fakta, dan untuk mengontrol narasi publik. Namun Sari tak
berhenti. Ia menulis, mengunggah, dan menjadi bagian dari jaringan perlawanan
digital. Ini menunjukkan adaptasi perjuangan di era digital, di mana informasi
dapat menyebar melalui kanal-kanal yang sulit dikontrol oleh kekuasaan. Peran
Sari dalam film ini menyoroti vitalnya peran jurnalisme warga dan aktivisme
digital sebagai bentuk perlawanan terhadap narasi tunggal yang dikuasai oleh
media korporat dan negara.
Dalam konteks ini, kita bisa membandingkan Sari
dengan karakter Zoey dalam Nightcrawler (2014), namun dengan arah yang
berbeda. Jika Zoey menggunakan media untuk mengeksploitasi kekerasan, Sari
menggunakan media untuk melawan kekuasaan. Ini adalah perbedaan fundamental
yang menempatkan Perang Kota pada sisi etis yang kuat. Sari bukan hanya
sekadar karakter fiksi; ia adalah cerminan dari jurnalis-jurnalis sejati yang
berani menentang arus, mengorbankan keamanan diri demi mengungkap kebenaran.
Perannya menegaskan bahwa jurnalisme yang baik bukanlah tentang sensasi,
melainkan tentang advokasi dan pemberdayaan. Ia adalah suara hati nurani
kolektif yang tak mau menyerah pada intimidasi.
Karakter Sari juga merepresentasikan kekuatan
perempuan dalam perjuangan sosial. Di tengah maskulinitas yang terluka pada
diri Jaka, Sari tampil sebagai sosok yang tangguh, cerdas, dan berani,
menunjukkan bahwa perlawanan tidak mengenal gender. Ia adalah manifestasi dari
gerakan-gerakan akar rumput yang seringkali dimotori oleh perempuan, yang
berjuang demi hak-hak komunitas dan keadilan. Keterampilan Sari dalam
memanfaatkan teknologi digital untuk menyebarkan informasi juga merupakan
cerminan dari peran media baru dalam memperkuat gerakan sosial, bypass media
konvensional yang mungkin telah dikendalikan.
Film ini secara implisit juga mengkritisi dominasi
media arus utama yang seringkali cenderung menyajikan informasi yang telah
difilter atau bahkan dimanipulasi. Sari menjadi antitesis dari jurnalisme yang
kompromis, menegaskan kembali idealisme jurnalisme sebagai pilar demokrasi. Pergulatan
Sari dengan ancaman dan sensor adalah potret nyata dari risiko yang dihadapi
oleh jurnalis independen di banyak negara, termasuk Indonesia. Ia adalah
pahlawan modern yang berjuang dengan pena dan kamera, melawan ketidakadilan
dengan senjata kebenaran.
V. Film Form dan Gaya: Sinema Realis yang Bersih
Luka
Secara visual, film ini mengambil gaya realisme
urban yang kasar namun tetap terstruktur. Tata kamera cenderung intim, sering
mengikuti gerak tokoh dalam close shot atau over-the-shoulder.
Pilihan ini menciptakan koneksi personal antara penonton dan karakter,
memungkinkan kita merasakan setiap emosi, setiap ketakutan, dan setiap
ketegangan secara lebih dekat. Warna-warna gelap, pencahayaan minimal, dan
penggunaan suara ambient kota (klakson, kereta, sirene) menciptakan atmosfer
yang mencekam namun akrab. Suara-suara kota yang riil ini tidak hanya menjadi
latar belakang, tetapi menjadi karakter tersendiri yang berbicara tentang
kekacauan, kepadatan, dan hiruk pikuk kehidupan urban yang menindas.
Musik latar tidak mendominasi. Justru kadang absen,
memberi ruang pada suara kota yang riil. Ini adalah pilihan sinematik yang
mendukung tema film: bahwa realitas kota tidak butuh didramatisasi, karena
sudah cukup menyiksa. Ketiadaan musik yang menggebu-gebu pada momen-momen
krusial justru memperkuat dampak emosional, membiarkan realitas berbicara
dengan sendirinya, tanpa dibumbui orkestrasi yang berlebihan. Ini adalah tanda
kematangan dalam penceritaan, yang percaya pada kekuatan inheren dari gambar
dan suara itu sendiri.
Suntingan film tidak terlalu cepat, tidak seperti
film aksi konvensional. Adegan aksi diolah dengan ritme yang canggung dan raw,
menciptakan ketegangan yang lebih psikologis daripada fisik. Ini adalah
pendekatan yang cerdas, yang menghindari klise film aksi Hollywood yang
mengandalkan kecepatan dan ledakan semata. Perang Kota justru membangun
ketegangan melalui atmosfer, melalui ekspresi wajah, dan melalui suara-suara
yang menghantui, menciptakan ketegangan yang meresap ke dalam jiwa penonton.
Gaya ini mengingatkan saya pada Gomorrah (2008), film Italia yang juga
menggambarkan kekerasan urban dalam gaya semi-dokumenter. Kemiripan ini
menegaskan bahwa Perang Kota berada dalam tradisi sinema realis yang
lebih luas, yang berani menampilkan sisi gelap masyarakat dengan kejujuran yang
brutal namun artistik. Film ini berhasil meramu estetika visual dan auditori
untuk menciptakan pengalaman yang mendalam dan tak terlupakan, membenamkan
penonton dalam kekejaman realitas urban.
Penggunaan pencahayaan yang minimalis dan
warna-warna gelap juga berfungsi secara simbolis. Mereka menciptakan nuansa
suram yang merefleksikan kondisi moral dan sosial kota itu sendiri. Tidak ada
ruang untuk warna-warna cerah atau pencahayaan yang mengkilap, karena realitas
yang disajikan film ini adalah realitas yang pahit dan tanpa harapan. Estetika
ini secara konsisten mendukung tema penindasan dan perjuangan, menciptakan
kohesi artistik yang kuat.
Selain itu, pemilihan mise-en-scène yang
detail juga patut diperhatikan. Latar belakang yang kacau balau,
bangunan-bangunan yang kumuh, dan ekspresi wajah para figuran yang penuh
keputusasaan, semuanya berkontribusi pada pembentukan dunia film yang autentik
dan menyedihkan. Ini bukan sekadar setting; ini adalah sebuah lingkungan yang
hidup dan bernafas, yang turut menjadi saksi bisu dari drama yang terjadi.
VI. Membandingkan dengan Hollywood: Lokalitas
Sebagai Keunggulan
Jika kita melihat film-film Hollywood bertema urban
war atau vigilante justice seperti The Equalizer, Joker,
atau Death Wish, kita akan menemukan perbedaan mendasar dengan Perang
Kota. Film-film Hollywood cenderung berangkat dari individu sebagai
pahlawan tunggal yang menyelamatkan lingkungan. Namun dalam Perang Kota,
protagonis justru dikalahkan oleh sistem. Ini adalah kritik terhadap mitos
penyelamat tunggal (hero complex) dan penegasan bahwa perubahan sosial
tidak bisa ditumpukan pada satu tokoh. Jaka bukan penyelamat, ia hanya “alarm”
yang membangunkan kita. Film ini menolak narasi tunggal tentang kepahlawanan
individu, dan justru menampilkan realitas yang lebih suram, di mana sistem jauh
lebih kuat daripada individu manapun. Ini adalah kejujuran yang menyakitkan,
namun perlu.
Dari segi narasi, Perang Kota lebih dekat
dengan tradisi film neorealis Italia atau sinema Asia Tenggara kontemporer
seperti By the Time It Gets Dark (Thailand) atau The Act of Killing
(Indonesia), di mana realitas sosial menjadi aktor utama. Keunggulan Perang
Kota terletak pada kemampuannya untuk mengakar pada realitas lokal,
sehingga pesannya terasa lebih relevan dan menusuk bagi penonton Indonesia.
Film ini berani menolak formulasi naratif Hollywood yang seringkali cenderung
pada fantasi heroik, dan memilih untuk menampilkan realitas yang lebih getir.
Lokalitasnya bukan berarti keterbatasan, melainkan kekuatan, karena mampu
menangkap nuansa sosial dan politik yang spesifik, namun dengan resonansi
universal. Ini adalah bukti bahwa film-film dari "pinggiran" dapat
menawarkan perspektif yang lebih segar dan otentik daripada
blockbuster-blockbuster yang dominan.
Perbandingan ini bukan dimaksudkan untuk
merendahkan film-film Hollywood, melainkan untuk menyoroti keunikan dan
kekuatan Perang Kota dalam konteks sinema global. Film ini berani
menantang ekspektasi penonton yang terbiasa dengan formula Hollywood yang aman
dan menghibur. Ia memaksa penonton untuk menghadapi kenyataan yang tidak
nyaman, dan di situlah letak kekuatan artistik dan relevansi sosialnya. Perang
Kota membuktikan bahwa sinema tidak harus selalu menjadi pelarian; ia juga
bisa menjadi cermin yang brutal namun jujur.
Implikasi dari perbedaan naratif ini juga
signifikan. Film-film Hollywood seringkali menawarkan solusi yang
disederhanakan, di mana masalah kompleks dapat diselesaikan oleh tindakan
heroik individu. Perang Kota justru menunjukkan bahwa masalah sosial
yang mengakar membutuhkan perubahan struktural yang jauh lebih besar, dan bahwa
perjuangan individu seringkali berakhir dengan kegagalan. Ini adalah pesan yang
lebih realistis dan, dalam banyak hal, lebih bertanggung jawab secara sosial.
VII. Relevansi Sosial dan Politik: Sebuah Film yang
Terlambat atau Terlalu Awal?
Menonton Perang Kota di tahun politik adalah
pengalaman yang menggugah. Kita melihat bagaimana film ini menangkap
ketidakpercayaan publik terhadap aparat, ketimpangan pembangunan, dan kegagalan
komunikasi antara negara dan warga. Tema-tema ini bisa dibaca melalui teori
komunikasi kritis dari Habermas—bahwa ruang publik telah dikooptasi oleh
kekuasaan, dan komunikasi menjadi monolog vertikal. Film ini secara efektif
menggambarkan bagaimana dialog antara negara dan warga telah terputus,
digantikan oleh dikte dan represi.
Apakah film ini berbahaya secara politik? Mungkin.
Tapi dalam konteks demokrasi yang sehat, justru film seperti ini harus
dirayakan. Ia memberi ruang kontemplasi bagi publik untuk memahami kotanya,
negaranya, dan dirinya sendiri. Di tengah hiruk pikuk politik, Perang Kota
hadir sebagai cermin yang memaksa kita melihat refleksi diri kolektif,
mempertanyakan narasi resmi, dan menyadari bahwa suara-suara yang terpinggirkan
perlu didengar. Film ini mungkin datang pada saat yang tepat, ketika masyarakat
membutuhkan stimulus untuk berpikir kritis dan berani menghadapi kenyataan. Ia
tidak hanya menyajikan cerita, tetapi juga memprovokasi kesadaran, mengundang
penonton untuk terlibat dalam perdebatan tentang keadilan dan kekuasaan. Dalam
konteks politik yang seringkali diwarnai dengan polarisasi dan simplifikasi, Perang
Kota menawarkan kompleksitas dan nuansa, membuka ruang bagi refleksi yang
mendalam dan otentik.
Relevansi film ini juga terkait dengan isu-isu hak
asasi manusia, terutama hak atas tempat tinggal dan hak untuk bersuara.
Penggusuran paksa yang digambarkan dalam film bukan sekadar adegan dramatis;
ini adalah realitas yang dialami oleh ribuan warga di kota-kota besar
Indonesia. Film ini memberikan platform bagi mereka yang tak berdaya untuk
bersuara, bahkan jika hanya melalui representasi sinematik.
Secara lebih luas, Perang Kota juga dapat
dilihat sebagai bagian dari tren sinema kontemporer di Asia Tenggara yang
semakin berani menyentuh isu-isu sosial-politik yang sensitif. Ini menunjukkan
kematangan industri film di kawasan ini, yang tidak lagi hanya berorientasi
pada hiburan semata, tetapi juga berani mengambil peran sebagai agen perubahan
sosial. Film ini adalah bukti bahwa seni dapat menjadi kekuatan yang subversif,
yang mampu menantang status quo dan memprovokasi pemikiran kritis.
VIII. Penutup: Film yang Tidak Memberi Jawaban,
Tapi Memberi Perasaan
Pada akhirnya, Perang Kota bukan film yang
ingin “menyelesaikan” masalah. Ia bukan solusi, tapi diagnosis. Ia menolak
menjadi optimistis. Dan mungkin, justru karena itulah ia penting. Film ini
tidak memberikan resolusi yang nyaman, tidak menyajikan akhir yang bahagia,
karena realitas yang digambarkannya pun demikian. Ini adalah sebuah cerminan
jujur tentang kegagalan, tentang luka yang tak kunjung sembuh, dan tentang
perjuangan yang tiada henti.
Saya keluar dari bioskop dengan perasaan yang
ganjil. Bukan karena ceritanya tidak selesai, tapi karena saya merasa bagian
dari cerita itu. Sebagai warga kota, sebagai konsumen media, sebagai saksi urbanisasi,
kita semua adalah aktor dalam perang ini—entah sadar atau tidak. Dan film ini,
dengan segala kekurangannya, telah melakukan tugas mulia sinema: membuat kita
merasa. Ia membuat kita merasakan kepedihan, kemarahan, ketidakadilan, dan di
atas segalanya, ia membuat kita merasakan kehadiran kita sendiri dalam medan
pertarungan ini. Perang Kota adalah sebuah pengalaman sinematik yang
kuat, yang tidak hanya menghibur tetapi juga menghantui, meninggalkan kesan
mendalam tentang luka-luka yang tersembunyi di balik gemerlap kota. Film ini
adalah pengingat bahwa seni memiliki kekuatan untuk menjadi lebih dari sekadar
hiburan; ia bisa menjadi cermin, kritik, dan pemicu perubahan. Ia adalah
panggilan untuk melihat lebih dekat, untuk merasakan lebih dalam, dan untuk
tidak pernah berhenti bertanya.
Film ini akan terus menghantui ingatan penonton
jauh setelah layar menjadi gelap. Ia adalah karya seni yang berani, yang
menolak kompromi, dan yang memilih untuk berbicara kebenaran meskipun pahit. Perang
Kota bukan hanya tentang narasi yang kuat atau akting yang memukau; ia
adalah tentang keberanian untuk menceritakan kisah-kisah yang harus didengar,
tentang suara-suara yang harus diberi ruang, dan tentang perlawanan yang harus
terus menerus dinyalakan. Film ini layak menjadi salah satu tonggak penting
dalam sejarah sinema Indonesia, tidak hanya karena kualitas artistiknya, tetapi
juga karena keberaniannya dalam mengemban misi sosial dan politik. Ia adalah
film yang relevan kemarin, hari ini, dan mungkin juga esok hari, selama
kota-kota kita masih dihantui oleh bayang-bayang ketidakadilan.
Komentar