Ayo, Jodohmu Menunggu!

Kontak Jodoh

Kamis, 29 Desember 2011

KH. Rahmat Abdullah, Dari Kuningan Sampai Bekasi


Rahmat Abdullah, yang seringkali dipanggil Bang Mamak oleh warga Kampung Kuningan ini, meskipun lahir dari pasangan asli Betawi, namun ia selalu menghindari sebutan Betawi yang dianggapnya berbau kolonial Belanda. Ia lebih bangga dengan menyebut Jayakarta, karena baginya itulah nama yang diberikan Pangeran Fatahillah kepada tanah kelahirannya. Sebuah sikap yang tak lain lahir dari semangat anti kolonialisme dan imperialisme, serta kebanggaan (izzah) terhadap warisan perjuangan Islam.

Pada usia 11 tahun, Rahmat kecil harus menapaki hidupnya tanpa asuhan sang ayah, karena saat itu ia telah menjadi seorang anak yatim. Sang ayah hanya mewariskan pada dirinya usaha percetakan-sablon, yang ia kelola bersama sang kakak dan adik untuk menutupi segala biaya dan beban hidup yang mesti ditanggungnya.

Meskipun begitu, Rahmat bukanlah remaja yang cengeng. Walaupun harus ikut membanting tulang mengais rezeki, ia tetap tak mau tertinggal dalam pendidikan. Awal pendidikan resminya ia mulai sejak masuk sekolah dasar negeri di bilangan Kuningan, yang kala itu masih berupa perkampungan Betawi, belum berdiri gedung-gedung pencakar langit. Dan seperti umumnya generasi saat itu, Rahmat kecil setiap pagi mengaji (belajar membaca Al Qur-an, baca tulis Arab, kajian aqidah, akhlaq & fiqh dengan metode baca kitab berbahasa Arab, nukil terjemah dan syarah ustadz) baru siang harinya dilanjutkan dengan sekolah dasar.

Tahun 1966, setelah lulus SD, yang tahun ajarannya diperpanjang setengah tahun karena terjadi peristiwa G-30-S/PKI, Rahmat masuk SMP. Tapi kali ini ia mesti keluar lagi karena terjadi dilema dalam dirinya. Ironi memang, di satu sisi keaktifan dirinya sebagai aktifis demonstran anggota KAPPI & KAMI yang dikenal sebagai angkatan 66, namun di hari Jum’at sekolahnya justru masuk pukul 11.30, tepat saat shalat Jum’at.

Karenanya pada permulaan tahun ajaran berikutnya (1967/1968) Rahmat memutuskan pindah ke Ma’had Assyafi’iyah, Bali Matraman. Dari hasil test dan interview, ia harus duduk di kelas II Madrasah Ibtidaiyah (tingkat SD). Namun Rahmat tidak puas dengan hasil itu, ia mencoba melakukan lobby dengan seorang ustadz, untuk melakukan test ulang hingga ia pindah duduk di kelas III.

Permulaan belajar di Ma’had ini, bagi Rahmat begitu berbekas. Apalagi ia harus ikut mengaji pada seorang ustadz senior Madrasah Tsanawiyah (Tingkat SMP) yang sangat streng dalam berbicara dan mengajar dengan bahasa Arab. Namun tak selang lama, ternyata sang guru kelas ini justru sama-sama mengaji bersamanya.

Rahmat memang langsung meloncat naik ke kelas V, di sinilah ia belajar ilmu nahwu dasar yang sangat ia sukai karena dengan ilmu itu terkuaklah setiap misteri intonasi dan narasi penyiar Shauth Indonesia, yang sering disiarkan oleh radio RRI dengan berbahasa Arab. Siaran inilah yang menjadi acara kesukaan Rahmat. Sehingga meski hidupnya serba kekurangan, namun karena sadar akan pentingnya komunikasi dan informasi, Rahmat merelakan uang makannya untuk dikumpulkan sedikit demi sedikit dari hasil jerih payahnya mencari pelanggan sablon, untuk membeli radio. Padahal saat itu, radio masih menjadi status simbol bagi orang-orang kaya zaman itu.

Selepas kelas V, Rahmat melanjutkan di Madrasah Tsanawiyah Assyafi’iyah. Di MTs ini ia belajar ushul fiqh, musthalah hadits, psikologi & ilmu pendidikan, di samping tetap belajar ilmu nahwu, sharf dan balaghah. Tapi pelajaran yang paling ia sukai adalah talaqqi. Biasanya talaqqi ini dilakukan langsung dengan para masyaikh (kiai) serta bimbingan langsung sang orator pembangkit semangat yang selalu memberikan inspirasi Rahmat muda, KH Abdullah Syafi’i.

Di saat ini pula Rahmat merintis dakwah dengan mengajar di Ma’had Asyafi’iyah dan Darul Muqorrobin, Karet Kuningan. Di tempat inilah Rahmat remaja mengabdikan dirinya sebagai guru, pendidik dan mengajarkan berbagai ilmu. Keseharian ini ia jalani bertahun-tahun dengan berjalan kaki dari Bali Matraman ke Karet Kuningan. Bahkan untuk memberikan pelajaran tambahan berupa les privat pun ia lakukan dengan berjalan kaki masuk ke lorong-lorong jalanan Jakarta hingga larut malam.

Semangat hidup dan dakwah ini juga ia tuangkan dalam berbagai untaian bait-bait syair, puisi serta berbagai tulisan artikel kecil yang ia kirim ke berbagai media. Tak jarang ia juga berlatih bermain teater bersama rekan-rekan guru atau teman-teman seperjuangannya.

Dari jerih payah inilah, selain bisa membeli sebuah motor Honda 66 atau sering disebut motor Chips, Rahmat Abdullah mampu mengasah watak dan pikirannya sehingga menjadi murid terbaik dan murid kesayangan dari KH. Abdullah Syafi’i. Bahkan sempat pada tahun 1980, bersama empat rekannya mau diberangkatkan ke Universitas Al Azhar Kairo Mesir, namun sayang gagal karena adanya ‘fitnah’ dari kalangan internal.

Namun hal itu tak menyurutkan Rahmat untuk selalu belajar. Sejak berkenalan dengan Syeikh Mesir yang pernah dikenalkan KH. Abdullah Syafi’i padanya, ia mulai senang melahap berbagai buku dan pemikiran Islam seperti Hasan Al Banna, Sayyid Quthb, Al Maududi serta tokoh nasional seperti HOS Cokroaminoto dan M. Natsir.

Sedang dari perjalanan dakwah bersama remaja-remaja Kuningan, menjadikannya sangat suka kala berdiskusi dan berguru dengan tokoh-tokoh M Natsir, Mohammad Roem ataupun Syafrudin Prawiranegara. Rahmat pun mengakui secara terus terang mengadopsi logika dan metode orasi yang ia ambil dari sang orator Isa Anshari dan Buya Hamka serta sang gurunya sendiri, Abdullah Syafi’i yang masyhur dengan teriakan lantang penggugah jiwa.

Rahmat remaja meski dikenal sebagai demonstran tapi sosoknya dikenal lembut, bahkan dianggapnya seringkali tidak bisa marah. Kemarahannya akan terlihat meledak jika Islam dilecehkan. Sebagaimana saat mendengar pembicaraan sang kakak, Rahmi, saat meminta kolega bisnisnya yang bekerja sebagai Kopasanda -Kopassus- untuk melunasi hutangnya. Tapi Kopassanda malah menjawab, "Nabi saja bisa meleset janjinya." Kontan mendengar pernyataan itu Rahmat keluar dari ruangan samping dan langsung berucap, "Nabi yang mana janjinya tidak tepat," Kopasanda itu malah menjawab, "Anda ndak usah ikut campur dengan urusan ini." Rahmat remaja langsung menyambut, "Suara Bapak terdengar di telinga saya di sini, sekali pun bapak berpakaian dinas, nabi yang mana yang ingkar janji itu," ujar Rahmat menahan emosi. Akhirnya Kopasanda itu minta maaf.

Sikap tegas ini lah yang menjadikan Rahmat Abdullah muda sangat disegani para pemabok ataupun preman. Karena caranya mendekati yang bersahabat. Bahkan, meski pernah kakaknya disakiti jagoan Kuningan waktu itu, H. Hamdani, ia tetap bisa menghadapinya dengan baik. Malah anak jagoan itu yang kemudian sempat ditahan polisi.

Anak-anak muda, preman, seniman semuanya ia rangkul terutama dalam wadah seni teater yang sering ia gelar di lapangan depan masjid Raudhtul Fallah —lapangan yang berada di belakang Dubes Malaysia saat ini-. Di tempat inilah Rahmat muda sering mengekspresikan syair dan puisinya serta peranan imajinasi dan pemikirannya sebagai sutradara teater dengan menggelar pagelaran teater drama terbuka. Teater yang terakhir kali ia pentaskan berjudul "Perang Yarmuk" yang tampil bersama Abdullah Hehamahua (1984). Dimana pementasannya sempat dikepung oleh intel dan aparat keamanan karena dianggap subversif di masa kekuasan Suharto.

Selepas pentas pun, tak ayal Rahmat dipanggil untuk menghadap KODIM. Namun Rahmat justru menjawab "Kalau yang memanggil Ibu, saya akan datang. Kalau yang memanggil KODIM sampai kapan pun saya tak akan pernah datang. Kalau mau saya datang ke KODIM, datang dulu ke ibu saya," ungkap Rahmat muda menjawab aparat dari kodim yang melayangkan surat panggilannya. Bahkan salah satu aparat KODIM, Soeryat, sempat menangis di hadapan Rahmat muda karena nasehat-nasehatnya agar tidak saling ‘memberangus’ sesama Muslim.

Keasyikan menceburkan diri dalam dakwah, rupanya menjadikan Rahmat tak sadar telah dimakan usia. Rahmat baru tersadar ketika seorang teman yang baru menikah mengingatkan sudah waktunya memikirkan bangunan rumah tangga. Barulah ia menyadari usianya sudah memasuki tahun ke-32.

Malam itu, malam Kamis 14 Ramadhan 1405 H. (1984 M), bertiga; Rahmat, ibunda dan bibi datang mengkhitbah seorang anak yang pernah menjadi muridnya, Sumarni, tatkala Rahmat duduk di kelas II MTs. Saat itu Sumarni masih menjadi siswi kelas I Madrasah Ibtidaiyah (lk. Umur 5 tahun). Ia adalah sang nominator juara I untuk lomba praktik ibadah.

Saat berlangsungnya khitbah, ketika keluarga Rahmat mengajukan usulan walimah bulan Syawal seperti kebiasaan Rasululllah saw, seorang ustadz wakil dari perempuan mengatakan, "Itu tetap walimah, tetapi Anda tidak akan menemukan keberkahan seperti bulan (Ramadhan) ini." Akhirnya, disepakati untuk nikah besok malamnya, malam Jum’at 15 Ramadhan. "Soal KUA urusan Ane, tinggal terima surat aje," ujar ustadz tadi. "Bah, ini rada-rada ketemu," ujar Rahmat muda dalam hati.

Walhasil sampai menjelang rombongan berangkat 15 Ramadhan itu, masih ada teman pemuda masjid yang bertanya, "Ini mau kemana sih?" Apalagi suasana saat itu memang masih represif. Bahkan belum sebulan menikah, di pagi buta ba’da subuh sesaat setelah peristiwa Tanjung Periok, Rahmat telah dijemput untuk mendengarkan rekaman peristiwa penembakan massa di Tanjung Priok yang terjadi semalam. Pagi itu lelaki yang sudah mulai akrab dipanggil Ustadz Rahmat itu, bersama pemuda Islam lainnya langsung meninjau lokasi yang porak poranda. Mendengar peristiwa itu pun, sang mertua justru mengusulkan untuk selalu membawa sang isteri untuk diajak juga keliling berbagai kota di Jawa. "Untuk penjajagan sikap ummat dan apa yang kerennya disebut ‘konsolidasi’lah," ujar Ustadz Rahmat saat diwawancarai beberapa saat lalu.

Setelah menikah, ia tinggal di Kuningan, bersama Ibu dan Adiknya. Hingga lahir tiga orang anaknya, Shofwatul Fida (19), Thoriq Audah (17) dan Nusaibatul Hima (15).

Pada pertengahan tahun 80-an Rahmat muda bergabung dengan Harakah Islamiyah yang saat itu tumbuh berkembang di Indonesia. Bersama Abu Ridho, Hilmi Aminudin dan beberapa tokoh pemuda Islam lainnya terus bersatu bergerak dalam dakwah yang lebih luas dan tertata. Gerakan dakwahnya ini lebih terinspirasi pada gerakan Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh Hasan Al Banna di Mesir yang sama-sama menjadi acuan kalangan muda saat itu

Pemikiran Hasan Al Banna yang telah lama menginspirasi dakwah pribadinya kini telah bertemu implementasinya bersama teman-teman yang merintis pendidikan dan kaderisasi dalam rangka penyadaran akan Islam dan mempertahankan kemurniannya. Di wadah baru inilah Rahmat selain berdiskusi, mengakses berbagai informasi tanpa melalaikan fungsi utama juga sebagai pendidik, penceramah, Rahmat merintis sebuah majalah Islam yang sangat disukai dan digemari kalangan muda. Namun sayang, saluran ekspresi pemikirannya itu harus dibredel di saat rezim orde baru mulai mengkhawatirkan kiprahnya. Namun pembredelan itu tak menyurutkan Rahmat untuk membuka lembaran baru berekspresi dalam dakwah.

Dan setelah 8 tahun menetap di Kuningan, ia mengontrak di Jl. Potlot I/ 29 RT 2 RW 3 Duren Tiga, Kalibata. Di sana lahir anaknya, Isda Ilaiha (13). Tapi panggilan dakwah sepertinya lebih memanggilnya. Tahun 1993 bersama murid-muridnya mencoba membangun pengembangan dunia pendidikan dan sosial dengan mendirikan Islamic Center Iqro’ yang terletak di Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat.

Di sini pula ia menetap dan memboyong keluarganya dari kontrakannya di Gang Potlot, Duren Tiga, Kalibata menuju tanah yang masih penuh rawa untuk berekspresi mengembangkan cita-citanya melalui kajian kitab-kitab klasik dan kontemporer. Di tempat terakhir ini merintis segala impian dan lahir anak-anaknya, Umaimatul Wafa (11), Majdi Hafizhurrahman (9), Hasnan Fakhrul Ahmadi(7).Di sini kesibukannya, semakin padat. Tetapi, kebiasaan pribadinya, untuk membaca, mengkaji Al Qur’an dan Tafsirnya, Hadits dan syarahnya tetap berjalan. Begitupun, kegiatannya mengisi pengajian di kantor, kampus, serta melayani berbagai macam konsultasi sejak lepas subuh hingga jam 08.00 pagi. Ditambah lagi kesibukan di Iqro’.

Bahkan, kegiatan rutin ini tetap ia jalani meskipun semenjak tahun 1999 ia diamanahi sebagai Ketua Bidang Kaderisasi DPP Partai Keadilan. Demikian juga saat beralih menjadi Ketua Majelis Syuro sekaligus Ketua Majelis Pertimbangan Partai Keadilan Sejahtera yang ia dirikan bersama teman-teman seperjuangan setelah lebih dari 10 tahun ia rintis.

Pada tahun 2004 sang aktivis demonstrasi, budayawan, filosof, guru dan pendidik yang disegani anak muda ini harus masuk ke gedung parlemen. Ustadz Rahmat terpilih sebagai wakil rakyat dari daerah pemilihan Bandung, Jawa Barat. Dan baru pada saat Ustadz Rahmat Abdullah mencalonkan diri inilah Bandung untuk pertama kalinya dimenangkan partai Islam.

Meskipun telah menjadi wakil rakyat, Ustadz Rahmat dikenal dikalangan Komisi III sebagai wakil rakyat yang tetap bersuara lantang, namun penuh santun dan filosofis sekaligus puitis dalam mengkritisi setiap kabijakan. Tak peduli menteri, presiden dan pejabat manapun ia sampaikan kritikan tajam membangunnya yang seringkali menjadi wacana baru bagi para pemimpin negeri ini.

Bahkan jabatan terakhir sebagai Ketua Badan Penegak Disiplin Organisasi Partai Keadilan Sejahtera ia emban dengan penuh amanah dan luapan semangat hingga akhir hayatnya saat ia harus dijemput kematian sesaat setelah berwudhu hendak menunaikan penghambaan pada sang Khalik, Selasa (14/6).

Sebuah harapan yang mungkin telah engkau ungkapkan sepekan sebelum dirimu meninggal. Dimana tidak biasanya dirimu ditegur isterimu ketika membuka album-album kenanganmu. "Lihat nih, orang Betawi kini telah keliling dunia, ke Inggris, Jerman, Belanda, Perancis, Amerika juga Makkah. Tinggal ke akheratnya saja yang belum," ujarmu berseloroh yang kini telah kau buktikan.

Selamat jalan guruku, jejak langkah perjuanganmu akan kami teruskan

Selasa, 27 Desember 2011

SANG MURABBI THE MOVIE, SEDERET PERTANYAAN DAN TANTANGAN


Oleh: Muhammad Yulius

Tanpa adanya kepemilikan media yang lebih luas, variasi program akan terus berkurang. Sampai saat ini kita belum mampu menemukan cara untuk membangun kebijakan publik yang mendorong pemain baru masuk ke bisnis media ketika biaya produksi program jauh lebih murah ketimbang distribusi.”--Danny Schechter, Broadcaster dan Film Maker, penulis The Death of Media and The Fight to Save Democracy

Telah lama kita hidup dalam kungkungan tempurung politik-media Orde Baru yang melahirkan produk-produk broadcast dan sinema berwatak seragam: anti-demokrasi. Kita dibuat megap-megap oleh keharusan memelototi satu-satunya channel televisi, TVRI, dengan program-program yang disaring secara ketat oleh Departemen Penerangan. Tak peduli muak dan muntah-muntah, kita pun dimestikan memperbarui keyakinan secara terus-menerus tentang fakta sejarah versi film Pengkhianatan G 30 S bikinan pemerintah.

Pada awal 1990-an, seberkas cahaya menerobos lubang tempurung saat beberapa channel televisi komersial bermunculan. Perkembangan ini ditengarai sebagai jejak pertama bagi kaki demokrasi media di Indonesia, sekaligus tanda-tanda berakhirnya era monopoli media di tangan pemerintah. Kita mengalami euforia, dan puncaknya terjadi pada 1998 ketika genderang reformasi ditabuh dengan kencang. Reformasi kemudian mendorong dengan sangat drastis pertumbuhan media dengan memberangus aturan kepemilikian Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Media tumbuh dan tumbang mewarnai kemunculan era reformasi yang ternyata tidak mampu menjawab secara tuntas rentetan pertanyaan kita tentang proses demokratisasi media.

Perkembangan televisi komersial yang sangat cepat kerap dikaitkan dengan keterbukaan, keberagaman informasi, kedaulatan masyarakat untuk memilih dan menghilangnya peran negara dalam menentukan apa yang boleh dilihat dan didengar oleh rakyat. Tidak ada lagi pemerintah Orde Baru yang dapat memaksa seluruh penonton di Indonesia untuk menyaksikan pidato Presiden.

Dalam terminologi yang digunakan oleh Quester (1990), Indonesia berkembang dari negara yang semula menganut sistem pertelevisian limited programming ke arah sistem yang percaya pada kewenang konsumen untuk memilih (relying on choice) dan bahkan ke arah sistem yang menawarkan pilihan berlimpah (plentitude).

Dalam semangat optimistik, swastanisasi pertelevisian Indonesia ini memang bisa dilihat sebagai cermin runtuhnya hegemoni negara dalam arus demokratisasi politik. Proporsi ini bahkan mendapat dukungan dari ilustrasi bahwa pada masa-masa menjelang kejatuhan Soeharto (1998), stasiun-stasiun televisi swasta terkesan aktif membawa suara-suara kaum reformis dan secara gencar menyiarkan berita-berita dan opini yang menentang kekuasaan Orde Baru.

Optimisme semacam ini tidak berlebihan. Gagasan tentang superioritas sistem yang memberikan kewenangan kepada pihak swasta untuk memiliki dan mengembangkan media massa memang lazim dikumandangkan dalam konteks demokratisasi. Pemikir liberal seperti John C. Merril dalam The Imperatif of Freedom (1974) berargumen bahwa hanya dengan kebebasan kompetisi media yang beroperasi dengan sistem self deteminism tanpa tekanan pihak luar, demokrasi dapat dijalankan oleh media.

Dalam skema liberal tersebut, penguasaan pers dianggap secara ideal diserahkan kepada kelompok-kelompok atau individu-individu dalam masyarakat yang akan berkompetisi dalam sebuah pasar bebas ide. Dengan asumsi bahwa masyarakat terdiri atas individu rasional yang dapat dipercaya sanggup mengambil pilihan terbaik untuk kepentingan kolektif, kompetisi tersebut akan membuahkan hasil yang membawa kebaikan kepada seluruh masyarakat. Bila pemerintah atau kekuatan-kekuatan nonmedia diizinkan untuk mengontrol dan mengintervensi arus informasi, dikhawatirkan kewenangan tersebut akan disalahgunakan untuk menghambat arus informasi yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat luas untuk mengambil keputusan secara memadai dalam sistem demokrasi partisipatif.

Pluralitas informasi adalah keniscayaan dalam demokrasi, dan format ideal untuk menjamin ketersediaan keberagaman tersebut adalah dengan menyerahkan penguasaan media kepada pihak swasta. Di sisi lain, kompetisi dijustifikasi sebagai bagian dari pemberdayaan kedaulatan konsumen. Kehadiran beragam media baru digambarkan sebagai memberi kendali besar di tangan konsumen, lebih banyak pilihan, lebih memberdayakan individu, serta akan memberikan produk yang lebih murah bagi konsumen.

Privatisasi pertelevisian, dengan demikian, memberi ruang lebih bagi konsumen untuk menentukan pilihan ketimbang diarahkan oleh segelintir pengendali informasi, yang kerap dipegang oleh pemerintah. Kebebasan identik dengan ketiadaan sensor, intervensi pemerintah serta kebebasan untuk beroperasi tanpa hambatan dalam pasar. Kaum liberal percaya―atau berusaha membuat kita percaya―bahwa semakin banyak pilihan adalah semakin baik; semakin sedikit aturan adalah semakin baik. Regulasi terbaik adalah regulasi yang dikembangkan oleh komunitas media sendiri melalui serangkaian kode etik dan standar profesional.

Masalahnya, seluruh gambaran ideal di atas akan sekadar menjadi mimpi yang segera hilang begitu kita terjaga. Ketika tak ada kawalan, penguasaan televisi di tangan pelaku pasar justru bisa mengerucutkan―ketimbang memberagamkan―infromasi. Dan salah satu penyebab terpentingnya adalah bahwa saat ini mereka yang menggerakkan mesin industri media, termasuk film, bukanlah mereka yang memang peduli―apalagi bersedia mem-perjuangkan―demokrasi.

Pada kasus di Indonesia, harus selalu diingat bahwa privatisasi pertelevisian diprakarsai oleh para pengusaha domestik yang menjadi pelaku utama dalam kapitalisme semu (ersatz―meminjam istilah Yoshihara Kunio). Para pengusaha ini bukanlah kaum wirausahawan yang menanamkan investasi untuk mengembangkan industri jangka panjang, melainkan sekadar pencari keuntungan sesaat dengan memanfaatkan kedekatan mereka yang sedang berkuasa dan sebagian besar berkiprah terbatas pada sektor tersier. Para pengusaha ini adalah mereka yang justru sangat diuntungkan oleh sistem politik yang tidak demokratis yang memungkinkan pengambil keputusan politik membagi-bagi akses sumber daya terbatas dengan imbalan dukungan bagi pelanggengan kekuasaan tanpa perlu memberikan pertanggungjawaban secara terbuka kepada publik.

Dengan demikian, penyebab privatisasi pertelevisian di Indonesia pada dasarnya bukanlah liberalisasi politik atau bahkan liberalisasi ekonomi. Kebijakan tersebut dilahirkan untuk melayani kepentingan ekonomi kaum kapitalis domestik yang berhasrat memasuki sebuah sektor yang sebelumnya didominasi pemerintah. Para kapitalis yang merambah masuk ke dalam bisnis pertelevisian tersebut adalah kaum pedagang yang tidak saja tidak menaruh pada keterbukaan politik, melainkan juga tidak menginginkan sebuah ekonomi pasar terbuka yang memungkinkan terjadinya kompetisi objektif antar-para pengusaha, walaupun misalnya persaingan itu dibatasi di dalam negeri. Bisa ditebak, bisnis media broadcast (dan bisnis film dengan sendirinya) hanya mampu dimasuki oleh segelintir bagian dari sektor swasta.

Namun, Indonesia bukan satu-satunya negara dengan khasus khas. Secara global, negara lain di dunia juga menghadapi hal yang sama. Di Amerika, misalnya, perkembangan industri media di negara itu pun semakin menunjukkan watak anti-demokrasi. Salah satu indikatornya adalah isi. Bagi media komersial yang beroperasi dalam sistem kapitalistik, informasi adalah komoditas yang harus dikemas, didistribusikan, dan dijual dalam beragam cara dan konteks yang menjamin kelanggengan komersial media dan, yang juga penting, yang menjamin kelanggengan sistem ekonomi yang memungkinkan segenap kepentingan dalam jaringan yang melekat pada media dapat memaksimalkan keuntungan. Isi media, dengan demikian, tidak ada hubungannya dengan upaya mencerahkan masyarakat.

Korelasi watak anti-demokrasi ini adalah modal. Bisnis media broadcast dan film membutuhkan investasi yang jauh lebih besar daripada media lain, baik karena kebutuhan akan penyediaan infrastruktur penyiaran, teknologi broadcasting yang terus berkembang, maupun karena kebutuhan pembiayaan (produksi maupun promosi). Kebutuhan investasi ini akan menjadi semakin tinggi sejalan dengan meningkatnya kompetisi yang terjadi akibat, misalnya, bermunculannya para pemain baru. Implikasi dari kondisi ini adalah terciptanya entry barrier bagi pemodal indpenden yang cekak dan pas-pasan--namun memiki idealisme yang tinggi―sehingga yang lebih mungkin memasuki pasar hanyalah para pemodal besar yang memiliki ikatan jaringan dengan sistem bisnis yang lebih luas, yang sangat mungkin core business-nya semula bukanlah hal yang terkait dengan media/sinema. Akibat investasi awal yang tinggi, akan ada pula kebutuhan agar laju pengembalian investasi bisa berlangsung dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama, sehingga para pengusaha akan memainkan “kartu-kartu lama” yang telah mengalami modifikasi. Dalam konteks ini, sangat bisa dipahami bahwa segenap gagasan tentang media (termasuk film) sebagai 'agen pencerahan' tidak pernah menjadi pertimbangan yang serius.

Para pebisnis media berskala besar ini tidak akan membiarkankan media yang dikuasainya menjadi sarana penyebar informasi yang dapat mengancam kepentingan ekonomi mereka. Media akan memperlakukan setiap oposisi yang membahayakan kepentingan ekonomi dominan sebagai tidak absah dan dimarjinalkan sehingga tidak terkesan membahayakan.

Akibatnya, secara tak terelakkan stasiun teve komersial akan didominasi oleh tontonan dengan nilai hiburan yang tinggi yang ditujukan pada kelas menengah dan bawah. Bahkan dapat dikatakan bahwa stasiun televisi komersial berfungsi sebagai obat bius untuk melenakan penonton agar terlupa kepada realitas keberlangsungan struktur ekonomi dan politik yang timpang dan eksploitatif, yang diindikasikan oleh bertambahnya kuantitas dan kualitas kemiskinan, yang sangat mungkin membutuhkan upaya bersama untuk mengubah secara mendasar struktur tersebut.

Namun, ancaman bagi demokrasi ini tidak saja terkait dengan isi, namun juga dengan struktur industri media itu sendiri. Kepemilikan media semakin mencuat, sehingga terpusat hanya di tangan segelintir pemodal raksasa tertentu. Dalam konteks ini, watak media yang antidemokrasi memperlihatkan alasan mengapa seluruh hal yang telah dipaparkan di atas menjadi lazim adanya.

Jika kondisi ini dibiarkan, watak antidemokrasi media akan menjerumuskan masyarakat kepada satu kondisi berbahaya, yaitu kebekuan opini. Masyarakat beropini bahwa “pemilik bisnis media adalah orang bermodal besar, sehingga pemodal kecil tidak perlu terjun ke bisnis media”; “karena modal besar, isi media dibuat untuk memenuhi hasrat kembali modal yang cepat, maka diproduksilah produk-produk media yang berfungsi sebagai hiburan”; “karena dunia media bersifat menghibur, isi dan kepemilikan media tidak akan pernah berurusan dengan upaya pencerahan dan edukasi bagi masyarakat”.

Premis inilah yang menjawab nyaris seluruh kondisi dunia broadcast dan perfilman Indonesia yang menimbulkan banyak pertanyaan; dari tema-tema yang, dari periode ke periode, mengalami daur ulang dan penyeragaman sampai kepemilikan yang tidak beranjak dari segelintir orang bermodal besar.

MEMBENTUK KESADARAN AKAN SUDUT PANDANG YANG BERBEDA

Banyak aktivis media yang mulai menanamkan harapan pada pertumbuhan gerakan film independen. Doku-demokrasi, begitu mereka menyebut gerakan itu, tengah tumbuh dengan adanya film indie dan dokumenter yang merevolusi sistem media kita.

Tahun 2004 disebut-sebut sebagai “tahun dokumenter” oleh panyak penulis media. Fahrenheit 9/11 karya Michael Moore, misalnya, menunjukkan bahwa ada pasar global yang besar (mencapai angka penjualan setengah miliar sampai saat ini) untuk sudut pandang yang berbeda yang sanggup bersaing dengan film-film mainstream yang menarik perhatian para pencinta film. Keberhasilan lainnya adalah menangnya film Weapons of Mass Deception karya Dannny Schechter dalam Festival Film Sundance dan festival-festival dunia lainnya .

Namun, makna yang lebih kuat dari kemunculan dua film di atas adalah bahwa saat ini telah muncul budaya perlawanan yang berbanding langsung dengan penurunan kualitas program televisi dan film kita.

Banyak festival film yang populer dan tersebar di seluruh dunia juga membuktikan kepentingan dan pemahaman publik yang terus berkembang serta terkait dengan sudut pandang dan tema-tema yang berbeda yang diangkat oleh film-film tersebut. Mereka telah menciptakan sebuah fondasi untuk memutar film independen, dan menyediakan tempat pada pecinta film untuk berinteraksi dengan pembuat film dengan mengajukan pertanyaan, ambil bagian dalam diskusi panel dan memilih film dalam kompetisi.

Memang, menurut Schechter, film-film independen ini tidak akan mengubah dunia, tapi mereka mampu dan terbukti bisa membentuk kesadaran serta memberikan inspirasi bagi publik untuk menyadari hal-hal yang dapat dan layak diperjuangkan.

KETAKUTAN UNTUK MELAWAN

Dalam kasus Indonesia, stereotipe watak film-film mainstream yang khas: berbiaya besar, berdaya lapar pada balik-modal yang cepat, bertema dangkal dan renyah, berbinar bintang cantik dan muda, sedikit atau banyak telah menggentarkan nyali para penggiat film-film independen untuk bermain di ranah publik yang lebih luas. Namun, memang, masalah ini sifatnya sangat kompleks, karena juga mencakup soal pendidikan dan budaya. Masalah ini juga terkait dengan soal kebijakan pemerintah dan prioritas regulasi. Belum lagi sorotan kelompok-kelompok kritis masyarakat. Apakah aktivis media dan filmmaker harus melaksanakan kewajiban kepentingan publik mereka?

Mestinya iya, karena publik bagaimanapun membutuhkan keberagaman kepemilikan (diversity of ownership) media sekaligus keberagaman isi (diversity of content) media. Jika dua kebutuhan ini tidak segera dipenuhi oleh aktivis media/film, maka publik akan terseret pada logika sangkaan mereka: bahwa di dunia ini semua pemilik media adalah seragam (yaitu hanya orang-orang yang punya akses kuat) sebagaimana isi media adalah seragam (yaitu media yang isinya sama saja dengan media lainnya). Mereka tak memiliki bayangan sedikit pun tentang keberagaman, alternatif, atau mainstream baru.

Ketakutan untuk melawan, juga menyebabkan tersendatnya proses transformasi gagasan pada level yang lebih luas. Jika para aktivis media/film telah mampu bermain pada level kelompok pendukungnya, apakah mereka juga mampu bermain pada level khalayak yang lebih luas? Ini harus dibuktikan. Fungsi pembuktian ini bukan sekadar untuk menunjukkan bahwa aktivis media/film mampu menandingi para filmmaker mainstream dalam hal menguasai sinematografi, tapi yang juga sangat penting adalah memberi warning kepada para pemain besar di level mainstream bahwa mereka tidak bisa semena-semena meracuni selera publik dengan hasrat bisnis mereka yang buas itu. Mereka harus mulai berpikir untuk mencari tema-tema lain selain tema-tema dangkal yang dibuat ngeseks, lucu, dan seram, karena telah muncul gerakan yang dapat mengobrak-abrik tatanan selera pasar yang selama ini menjadi takhayul besar bagi mereka. Gerakan ini membawa misi besar, yaitu transformasi gagasan pergerakan, dengan upaya coverage khalayak yang juga lebih luas lagi.

Pada beberapa kasus, para pemain mainstream sesungguhnya sudah mulai merasa untuk berhati-hati. Munculnya kelompok-kelompok kritis masyarakat yang mencoba memberikan desakan kuat agar sebuah film segera dilikuidasi karena ketidaklayakannya, dapat membuat mereka khawatir terhadap kemungkinan hilangnya sejumlah uang mereka hanya karena film produksi mereka dilarang beredar. Mereka juga mulai melirik kemungkinan-kemungkinan untuk memproduksi film dengan kualitas tema yang baik, meski lagi-lagi semuanya bermuara pada satu kepentingan tunggal: uang.

Munculnya film Ayat-Ayat Cinta patut mendapat catatan bagaimana publik yang mulai merasa penting untuk memilih-milih tema tontonan, sekaligus juga menjadi contoh yang pas untuk fenomena mulai tertariknya para pemain mainstream untuk menggarap tema-tema yang berbeda dengan tema-tema regular mereka (seks, humor, horor).


KASUS SANG MURABBI: BEBERAPA PERTANYAAN RETROSPEKSI

Film produksi Majelis Budaya Rakyat ini nyaris memenuhi semua aspek dari gerakan doku-demokrasi. Film ini berbiaya murah, dengan tema berbeda, dan dengan sistem pemasaran yang melawan regulasi film mainstream. Lebih dari itu, Sang Murabbi juga berhasil mengidentifikasikan publik penontonnya, yaitu para aktivis dakwah, sekaligus memetakan kekuatan kedekatan antara idealisme-pesan film dan pandangan-dunia publiknya. Sang Murabbi juga menjadi katup-pelepas kesadaran publik yang telah terbangun tapi belum memiliki bentuk; publik telah memiliki kesadaran akan pentingnya menguasai ranah media/film untuk keberlangsungan proses transformasi ide-ide, namun mereka masih bingung―dan karenanya harus diarahkan―untuk menemukan bentuknya.

Dalam konteks transformasi gagasan, Sang Murabbi “telah selesai” menjalankan tugasnya sebagai film independen. Publik penontonnya yang terbatas dan jelas membuat proses gerakan doku-demokrasi berjalan dengan baik. Memang, ada beberapa kritik yang masuk, tapi level kritik itu pada umumnya baru sekadar menunjukkan tipologi akibat kooptasi konsep produk broadcast dan sinema masa orde baru yang anti-demokrasi. Sebagaian besar “kritikus” masih terperangkap dalam kotak yang membelenggu pikirannya tentang konsep film dan dakwah, yang jeruji perangkapnya berasal dari konsep-konsep film mainstream, misalnya tentang dakwah yang berarti “mengajak orang yang belum tahu untuk menjadi tahu” (Hendra Veejay, Kekontraproduktifan Dakwah Sang Murabbi, Pikiran Rakyat Online). Padahal, doku-demokrasi Sang Murabbi sudah bergerak jauh ke luar kotak: bahwa dakwah juga harus berarti mengajak orang yang sudah tahu untuk memelihara pengetahuannya, karena ambang batas pengetahuan adalah kematian.

Nah, jika demikian, performa Sang Murabbi sebagai film yang diharapkan oleh publik penontonnya, telah terbentuk. Namun, apakah Sang Murabbi akan selesai menjadi “sekadar” film gerakan dengan jangkauan-gerakannya yang terbatas? Apakah transformasi gagasan besar yang diangkut Sang Murabbi telah menemukan pelabuhan yang sesungguhnya? Apakah Sang Murabbi justru sekadar menjadi maket dari tugas besar yang sesungguhnya sedang menanti untuk dikerjakan: yaitu publik umat Islam yang juga berhak untuk menerima transformasi gagasan besar itu? Dalam konteks ranah film Indonesia, apakah gerakan doku-demokrasi Sang Murabbi telah membuat para pemain mainstream mau melirik dan mencatat kehadirannya, sebagaimana kemunculan Kuldesak pada era-era awal kebangkitan film Indonesia? Atau malah mereka tidak tahu dan tidak peduli sama sekali? Lantas, bagaimana Sang Murabbi dapat memperluas jangkauan pengaruhnya dan memperlebar kalangan publiknya, jika ternyata publiknya juga menjadi publik bagi film-film mainstream seperti Ayat-Ayat Cinta, Naga Bonar Jadi 2, Laskar Pelangi, Ketika Cinta Bertasbih, Doa yang Mengancam? Lantas, bagaimana Sang Murabbi dapat menjaga komitmen publik penontonnya jika persoalan kemasan (VCD dan DVD) saja ternyata menyisakan persoalan, karena kebanyakan mereka adalah komunitas insan copas (copy-paste) yang terbiasa mengakses medium audio visual secara gratis dengan meng-copy dari teman-temannya?

SANG MURABBI THE MOVIE: UPAYA MENJAWAB TANTANGAN

Rentetan pertanyaan di atas sesungguhnya bermuara pada satu pertanyaan: apakah Sang Murabbi mampu menjawab bombardir pertanyaan itu? Jika mampu, bagaimana cara Sang Murabbi melakukannya?

Sang Murabbi sesungguhnya menghadapi situasi yang relatif sama seperti para pemain mainstream. Mereka berhadapan dengan publik penonton yang perlahan namun pasti mengalami perkembangan dalam banyak segi, terutama segi apresiasi nilai pesan sebuah film. Publik film Indonesia tidak lagi dapat disamakan dengan publik film Indonesia pada era 80-an atau 90-an, terutama saat film-film panas mendominasi dan menjadi pilihan aman para pemain mainstream. Kini publik penonton Indonesia dapat menilai kualitas sebuah film melalui review melalui media internet, sebelum mereka menjatuhkan pilihan untuk menonton atau tidak. Jangan abaikan pengaruh review film yang tumbuh lewat, bukan saja, website komersial melainkan bahkan lebih banyak lagi melalui jaringan website gratisan seperti friendster, mulitply, wordpress, blogspot, dll.

Kemunculan review film melalui medium internet itu sedikit atau banyak telah membentuk kesadaran baru publik penonton untuk memutuskan pilihan yang baik untuk menonton film. Nah, hal ini menjadi peluang yang baik bagi Sang Murabbi versi The Movie untuk menjawab rentetan pertanyaan di atas, karena pada kasus Sang Murabbi versi VCD dan DVD medium internet telah sukses membantunya nyaris dalam segala hal: publikasi, pemasaran, review, kontak jaringan, dll.

Memang, persoalannya tidak kemudian menjadi sederhana. Tetap dibutuhkan kekuatan lain untuk membuat Sang Murabbi The Movie layak ditonton oleh publik penonton film Indonesia. Persoalan promosi, kemasan, dan konsep cerita harus mendapat perhatian khusus mengingat image Sang Murabbi telah lekat sebagai film independen. Bisa dikatakan, di titik inilah pekerjaan terberat Sang Murabbi The Movie. Meski publik penonton telah mulai bertumbuh kecerdasannya, namun mereka tetap berada dalam kerangkeng film mainstream. Jika Sang Murabbi The Movie mampu mengatasi persoalan ini, maka kehadiran film ini tidak sekadar dicatat sebagai penambah daftar panjang film-film bernapas baru dalam film Indonesia, namun juga dilihat sebagai sebuah manuver fenomenal dari gerakan dakwah di Indonesia yang tidak melulu berkutat pada upaya penegakkan syariat Islam dalam produk regulasi negara--sesuatu yang bahkan dalam sejarah gerakan Islam internasional baru sekadar menjadi utopia. Nah, pertanyaannya kembali ke atas: mampukan Sang Murabbi The Movie menjawab rentetan pertanyaan di atas? Jika mampu maka bagaimana caranya?

SANG MURABBI THE MOVIE MESTINYA BUKAN FILM DAUR ULANG

Gagasan menggelindingkan Sang Murabbi The Movie memang terbilang sebuah terobosan luar biasa. Artinya, film yang diawali oleh gagasan mentransformasi ide tokoh kepada pengagumnya ini telah berjalan dalam format VCD/DVD dengan publik terbatas dan jelas, lalu akan diangkut ke wilayah yang lebih luas. Ini kurang lebih mirip dengan beberapa sinetron yang kemudian dibuat versi the movie-nya, misalnya Di Sini Ada Setan The Movie atau Suami-Suami Takut Istri The Movie, meski harus buru-buru ditegaskan bahwa keduanya berbeda dalam hal isi dan publik penonton. Sang Murabbi versi VCD/DVD adalah film (bukan sinetron televisi, sehingga eksklusvitias produknya terjaga dari jeratan jam tayang, rating, iklan, kompetitor, atau stasiun teve), sementara dua sinetron tersebut adalah produk broadcast yang bertumpu pada satu-satunya logika-nilai keberhasilan program teve: rating dan iklan―yang berbanding lurus dengan capaian jumlah penonton.

Namun, sebagai versi dari produk film yang ditujukan sebagai upaya ekspansi nilai-nilai gagasan (baca: dakwah) ke wilayah yang lebih luas dan heterogen, Sang Murabbi The Movie harus tampil sebagai produk yang fresh, bukan produk daur ulang. Ini untuk menghadapi ekspektasi publik penonton Sang Murabbi versi VCD/DVD yang digerakkan oleh rasa ingin tahu mereka: apakah Sang Murabbi The Movie akan menampilkan warna yang sama sekali baru dari versi sebelumnya, atau versi ini akan sekadar menjadi film “tambal sulam” dengan penambahan sisi baru di sana sini? Sementara itu, ini yang berat, publik penonton Indonesia akan mencoba membanding-bandingkan Sang Murabbi dengan film mainstream yang mereka anggap berhasil seperti Ayat-Ayat Cinta atau Laskar Pelangi, yang sempat merajai bioskop Indonesia.

Sang Murabbi The Movie juga harus lebih banyak menggali hubungan antara kondisi kekinian publik penontonnya dengan fragmentasi kehidupan Almarhum Ust. Rahmat Abdullah, terutama kehidupan masa lalunya, sehingga konsep sketsa tidak lagi menjadi satu-satunya kekhasan film ini. Sang Murabbi The Movie harus memberikan sesuatu yang lain dan baru lagi, agar versi ini tidak dianggap sebagai bagian kedua dari Sang Murabbi versi VCD/DVD (bukan versi baru). Sang Murabbi The Movie juga harus memperluas dan mempertajam konsep “foto berbingkai” untuk membantu konsep sketsa yang memang dipilih karena alasan idealisme dalam menjaga orisinalitas cerita (meski tidak seratus persen). Konsep “foto berbingkai” dapat bermain dengan berangkat dari konteks kekinian kehidupan yang kompleks dan kritis (sebagai bingkai), yang pengaruh-pengaruhnya menjadi pintu masuk ke dalam realitas (foto) masa lalu.

Sang Murabbi The Movie juga harus berani mencari pemain baru dan setting masa lalu yang lebih mendekati aslinya agar taste doku-dramanya makin tajam. Keseriusan film Gie untuk urusan setting masa lalu patut dijadikan contoh. yulius1073@yahoo.com

Turtles Can Fly Kura-kura Kurdi dan Politik Kemanusiaan Bahman Ghobadi


Oleh Muhammad Yulius, Penatap Nanar Bermata Minus

Bagaimana kita menangkap bahasa cinta, kebencian, atau dendam kesumat seorang sutradara dalam film garapannya? Apakah film dapat menjadi media yang efektif untuk menilai sikap dan idealisme seorang sutradara terhadap persoalan yang diangkatnya? Apakah setiap kita—sebagai penonton—memakai mata yang sama; yaitu mata seorang komunikan (penerima pesan) yang memaknai aktivitas menontonnya sebagai proses decoding, sehingga kita dapat mengapresiasi bukan saja hal-hal umum dari film itu, melainkan juga pesan-pesan yang berdenyut dari jantung sang sutradara?

Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk dijawab ketika kita menyaksikan film-film dengan latar pertarungan politik dan ideologi seperti 300 (Zack Snyder), The Last King from Scotland (Kevin Mcdonald), Hotel Rwanda (Terry George), The Wind That Shakes the Barley (Ken Loach) Schlinder List (Steven Sphielberg), The Killing Field (Roland Joffe’), Kundun (Martin Scorsese), Lawrence of Arabia (David Lean), dan tentu saja Turtles Can Fly karya sutradara Bahman Ghobadi. Film-film ini dibuat dengan background sejarah nyata, kejadian sungguhan, dan tokoh-tokoh yang masih dan pernah hidup di alam dunia ini. Dengan demikian, peran sutradara menjadi strategis mengingat di tangannyalah sebuah background cerita dapat berbicara, pelaku sejarah menjadi hidup kembali, dan sebuah persoalan bisa menjadi propaganda. Dalam wujud film, background mungkin tidak berubah, pelaku bisa saja sama, tetapi persoalan yang diangkat bisa berbicara lain ketika angle sang sutradara mengarahkannya berdasarkan sikap dan idealismenya.

Itulah yang dicontohkan oleh film laris 300 yang hingga saat masih beredar di bioskop-bioskop di luar negeri. Film yang diangkat dari novel komik karya Frank Miller ini, mendapat hujatan dari pemerintah Iran sebagai propaganda hitam Amerika terhadap kebijakan teknologi nuklir Iran. Dalam film yang dirilis tanggal 6 Maret 2007 ini, Zack Snyder menggambarkan orang Persia (Iran) sebagai orang jahat dengan perangai bak monster. Begitu juga dengan Hotel Rwanda yang mendapat tentangan keras dari pemerintah Rwanda. Jajaran elite Rwanda mengatakan bahwa adegan-adegan dalam film yang dibintangi oleh Don Cheadle, Sophie Okonedo, dan Nick Nolte itu sama sekali tidak sesuai dengan fakta di lapangan.

Bagaimana dengan Turtles Can Fly (TCF)? Film dengan latar belakang keruntuhan rezim Saddam Hussein ini disebut-sebut sebagai film pertama dan satu-satunya yang menggambarkan situasi rakyat Irak secara umum pascainvasi Amerika. Apakah film yang diedarkan oleh Metro Goldwyn Mayer (MGM), perusahaan film berbasis di Amerika yang didirikan oleh duo Yahudi perantauan Marcus Leow dan Louis B. Mayer, ini benar-benar mewakili penderitaan rakyat Irak? Tentu tidak, jika kita melihat siapa Bahman Ghobadi.

Ghobadi dilahirkan pada tanggal 1 Februari 1969 di desa Baneh, provinsi Kurdistan, Iran. Ia mengenyam pendidikan sinematografi, dengan spesialisasi penyutradaraan film, di Iranian Broadcasting College. Ghobadi mengawali kariernya dengan membesut Life in Fog, sebuah film pendek yang dirilisnya pada pertengahan 1990. Film ini mendapat penghargaan internasional dan segera menjadi fenomena dalam sejarah perfilman Iran. Setelah menggarap film layar lebar pertamanya, A Time for Drunken Horses, pada tahun 1999, Ghobadi segera terkenal sebagai orang Kurdi pertama di jagat perfilman Iran.
Darah Kurdi yang mengalir dalam tubuh Ghobadi menyebabkan TCF hadir sebagai film berbau politik yang menggambarkan penderitaan orang Kurdi di bawah rezim tiranik Saddam. Sebagai gambaran kasar, populasi etnis Kurdi di Irak sekitar 5 juta jiwa, atau sekitar 25% dari jumlah penduduk Irak. Suku Kurdi berjuang mendapatkan kemerdekaannya sejak abad ke-20, dan terus bergerilya hingga kini. Runyamnya, saat Inggris menjajah Irak (PD I), pemerintah kolonial Inggris membuat mekanisme pemberangusan kaum pemberontak Kurdi dalam draft pendirian Irak modern. Kebijakan itulah yang sesaat sebelum invasi Amerika tetap dijalankan pemerintah Irak di bawah kepemimpinan Saddam. Bagi rezim Saddam, Kurdi adalah lalat yang harus dibasmi.

Seperti film-film sebelumnya, eksplorasi Ghobadi terhadap kekurdiannya memang sangat kental. Ia, misalnya, berbeda dengan sutradara Iran lainnya seperti Nizamettin Aric dan Samira Makmalbaf yang mengangkat tema-tema kehidupan masyarakat Iran. Bisa dikatakan, Ghobadi adalah sutradara Iran spesialis tema-tema kehidupan masyarakat Kurdi. Warna-warna Kurdi ia tampilkan mulai dari tokoh, konflik, hingga setting lokal. Dalam A Time for Drunken Horses, misalnya, Ghobadi mengangkat penderitaan anak-anak Kurdi yang tinggal di perbatasan Irak-Iran yang harus berjuang mempertahankan hidup dengan menyelundup ke Irak untuk bekerja sebagai buruh kasar. Sementara dalam Marooned in Iraq (2002), ia membidik penderitaan seorang musisi Kurdi yang mencoba mengadu nasib di Irak.

Angle-angle kemanusiaan Ghobadi itulah yang membuat film-filmnya menyentuh, meski diangkat dengan latar belakang persoalan sosial-politik yang rumit dan berat. Ghobadi tidak terjebak pada verbalitas kampungan yang sinis dan nyinyir, yang bisa membuat filmnya penuh sumpah serapah. Dalam TCF, Ghobadi menggunakan anak-anak sebagai angle dalam melihat penderitaan suku Kurdi pada detik-detik kejatuhan Saddam. Ghobadi membuat TCF menjadi film yang kuat dan berhasil karena ia bercerita tentang penderitaan kakak beradik Agrin (Avaz Latif) dan Hengov (Hiresh Feysal Rahman), serta Riga (Abdol Rahman Karim)—anak Agrin hasil perkosaan oleh tentara Irak. Anak-anak ini tidak dimainkan untuk berteriak-teriak, menghujat, apalagi menghina Saddam. Agrin, Hengov, dan Riga hanyalah anak-anak, sama seperti anak-anak lain di seluruh dunia. Yang membedakan mereka hanyalah nasib mereka sebagai anak-anak suku Kurdi. Tetapi lihat bagaimana Ghobadi membalut penderitaan itu dengan canggihnya, sehingga TCF tidak terjebak menjadi penderitaan yang verbal dan mendayu-dayu ala film India atau Indonesia sebangsa Ratapan Anak Tiri. Penderitaan anak-anak itu tetap menjadi penderitaan yang “elegan”, penuh energi dan dinamis, dan tidak dibuat menyerah kepada nasib. Oleh karena itu, penderitaan anak-anak suku Kurdi itu juga mengundang senyum dan decak kagum penonton. Perhatikan, misalnya, bagaimana berwibawanya Hengov yang tidak ingin Agrin diganggu oleh Kak “Satelite” (Soran Ebrahim) yang diam-diam menyukainya. Kak “Satelite” sendiri digambarkan dengan teknik yang tinggi; bagaimana remaja tanggung itu memiliki pengaruh kuat di kalangan anak-anak dan penduduk karena kepintarannya mengutak-atik antena teve dan menjadi bos usaha pembersihan ranjau.

Secara khusus, Ghobadi juga menyajikan konflik batin Agrin yang berkali-kali mencoba mengakhirinya dengan bunuh diri. Di scene ini, Ghobadi tidak terjebak pada kecengengan dan dendam kesumat. Ghobadi tidak mengintrodusir latar belakang konflik batin Agrin dengan opening yang hiruk-pikuk, tapi cukup dengan flash back yang menggambarkan serbuan tentara Irak ke kampung Agrin, mengobrak-abriknya, lalu dan memperkosa bocah perempuan itu. Opening TCF pun dibuka dengan adegan percobaan bunuh diri Agrin yang penuh inner conflict, terasa sangat alamiah tetapi menyayat jiwa. Begitu juga dengan percobaan bunuh dirinya di sebuah danau kecil pada malam hari. Agrin melakukannya dengan dingin; ia berjalan dengan tenang ke tengah danau lalu menyiramkan minyak ke sekujur tubuhnya tanah lalu membakarnya. Saking dalamnya konflik itu, bahkan skor musik pun dibuat minus (bandingkan dengan film-film kita; yang di scene begini musiknya pasti sudah ribut sekali).......ke mana lanjutannya? hilang, terpotong, ah...sudahlah, lupakan saja....

Berhaji, Menggapai Spiritualitas Diri dan Masyarakat


Dzulhijah menjelang. Lantunan kalimat talbiyah mulai bergema di seantero negeri. Hiruk pikuk Tanah Suci mengirim janji kemabruran. Namun, kesibukan para calon tamu Allah berkutat di seputar urusan fisik: cadangan duit, daftar belanja, list permohonan doa dari keluarga dan para tetangga. Di belakang mereka, ada yang masih berputar-putar dengan soal kemantapan, meski semua syarat telah melekat dalam dirinya dan sinyal-sinyal panggilan kian kuat menggedor jiwa. Apakah haji selalu saja soal persiapan fisik yang instan dan hal ihwal panggilan?

Soal “Belum Terpanggil” Hingga “Mendadak Shaleh”

Mak Tuni, demikian tokoh kita ini biasa disapa, tak pernah berani membayangkan dirinya bakal menjejakkan kaki di Tanah Suci. Boro-boro membayangkan, melafalkan kalimat talbiyah saja ia sudah merasa tak pantas. Ia janda tua tanpa anak dan sanak saudara; sebatang kara menghadapi serbuan hidup yang kian durjana. Tak ada yang bernyali memutus borgol kemiskinannya, sekalipun itu para “Duta Tuhan”—Pak Haji dan Bu Hajjah yang sudah “naik-turun” haji.

Toh, Mak Tuni masih punya rasa rindu dan air mata, yang dipupuknya tanpa jeda. Saban usai shalat, ia tak pernah alpa memanjatkan kangennya untuk bersua Dia di rumah-Nya; rasa rindu yang berbaur air mata mencucur. Lalu, berlakulah takdir-Nya atas Mak Tuni. Suatu hari, seorang muhsinin dari lembaga sosial menyodorkan sekeping kesempatan untuk terbang ke Baitullah. Demikianlah. Janda sebatang kara itu akhirnya bersua dengan pujaan hatinya.

Mak Tuni memang bukanlah potret kebanyakan masyarakat kita dalam memandang ibadah haji. Umumnya kita, ibadah haji hanya berurusan dengan satu hal mutlak: uang. Jadi, tak ada persiapan lain selain memiliki jatah fulus yang bisa dilungsurkan ke dalam tabungan haji.

Cara pandang ibadah haji berbasis uang inilah tampaknya yang melupakan kita kepada fondasi kesiapan berhaji: persiapan spiritual. Padahal, dalam urutan Rukun Islam, haji menempati posisi kelima. Ini artinya, secara bertahap Islam telah mengajarkan kepada umatnya agar melakukan pencapaian hidup secara permanen, tahap demi tahapnya.

“Seluruh ibadah dapat meningkatkan spritualitas. Ulama mengatakan, seluruh ibadah bertujuan mensucikan jiwa. Artinya, orang yang ibadahnya benar pasti spritualnya kuat. Jadi ibadah bukan sekadar menggugurkan kewajiban,” kata Dr. Ahzami Sami’un Jazul, MA, pemimpin Pondok Pesantren Darul Hikmah, Bekasi.

Spiritualitas yang terkandung dalam setiap ibadah, seperti dimaksud Ahzami, inilah yang menjadikan spiritulitas dalam ibadah haji bukan spiritulitas abrakadabra, yaitu nilai-nilai rohani yang didapat bak duren jatohan—tanpa pernah bekerja keras menanam dan merawat pohonnya. Dengan demikian, setiap Muslim harus memulai dari mendapatkan bibit rohani yang baik, tanah yang subur, hingga merawat pohon spiritualitas yang ditanamnya. Itulah rangkaian pencapaian spiritualitas dalam syahadat, shalat, puasa, dan zakat. Nah, saat ibadah haji, seluruh capaian spiritualitas itu berkumpul menjadi satu dalam klimaks ruhani yang tertinggi—yang efeknya disebutkan dengan haji mabrur.

Persoalan inilah tampaknya yang menjadi biangkerok dalam realitas memprihatinkan di kalangan “Duta Tuhan”; banyak di antara mereka yang sudah berhaji—bahkan ada yang sudah berkali-kali—tapi kadar spiritulitasnya masih saja rendah. Ini ditandai dengan interaksi sosialnya yang payah, disebabkan oleh penyakit hati (al-wahn) yang akut. Dalam bahasa Ahzami, “Duta Tuhan” seperti ini tak cepat merespon perintah Allah dalam segala bentuknya.

“Salah satu ciri haji mabrur itu banyak mengingat mati. Efek mengingat mati itu akan membuat kita takut menunda-nunda berbuat kebaikan, sehingga tanda haji mabrur adalah cepat merespon panggilan Allah. Apapun namanya: shalat berjamaah, puasa, dakwah, berjihad, sedekah, zakat, ini semua harus cepat dilakukan,” papar Ahzami.

Dalam konteks inilah kita dapat menelisik warna berislam sebagian besar jamaah haji kita, yaitu keshalehan yang dilakukan secara mendadak, yang diperlihatkan berbarengan dengan kesibukan persiapan berhaji. Menurut Ahzami, keshalehan mendadak ini berasal dari pemaham Islam yang masih berkutat dalam persoalan fikih hukum, belum menyentuh praktik ibadah yang benar dan mendalam. Akibat lainnya, seorang Muslim yang secara finansial dan fisik telah memenuhi syarat, kerap berkelit dari kewajiban berhaji dengan alasan “belum terpanggil” Jadi, pas memang, jika rukun Islam kelima ini masih menjadi momok yang harus dihindari, maka bandingan lurusnya adalah kualitas syahadat, shalat, puasa, dan zakatnya yang masih memprihatinkan.

Napak Tilas Kesempurnaan Berislam

Kepentingan seorang Muslim terhadap capaian spiritualitas prahaji adalah kepentingan strategis karena saat memasuki atmosfer haji, ia akan berhadapan dengan rute napak tilas kesempurnaan berislam. Rute itu dibuat—atas takdir-Nya—oleh sosok agung dalam sejarah haji, Ibrahim ‘alaihissalam dan keluarganya.

“Ibadah haji itu perintah yang istimewa dan unik. Kalau ibadah lain, misalnya puasa, dilakukan untuk meraih ketakwaan, ibadah haji justru harus berbekal takwa,” kata Agustian, Ketua Drupadi Foundation.

Bekal takwa ini, menurut Agustian, diisyaratkan Al-Quran sebagai konsekuensi pencapaian tauhid yang benar, yang telah dilakukan Nabi Ibrahim sebelum proses perjalanan haji. “Dan (ingatlah) Ibrahim, ketika dia berkata kepada kaumnya,Sembahlah Allah dan bertakwalah kepada-Nya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al-‘Ankabut [29]: 16).

Senada dengan Agustian, persiapan prahaji berupa capaian spiritualitas dalam ibadah Rukun Islam lainnya menurut Ahzami adalah bekal yang tak bisa ditawar-tawar.

“Dalam persiapan prahaji, kita harus paham manasik haji, dana yang dipakai harus halal, dan niat harus ikhlas karena Allah,” terang Ahzami.

Kepahaman, kehalalan, dan keikhlasan yang terkandung dalam persiapan prahaji ini menurut Ahzami merupakan intisari dari pencapaian spiritulitas ibadah harian seseorang. Jika ini telah menjadi karakter hidupnya, maka tahap berikutnya dapat dengan mudah dilaluinya.

“Saat berhaji, ia mengamalkan ibadahnya dengan ilmu sehingga hajinya benar mengikuti haji Nabi saw.,” sambung Ahzami.

Tahap penting berikutnya, yaitu pascahaji, seseorang akan mempertaruhkan proses napak tilas yang telah diikutinya. Menurut Ahzami, saat inilah kesempurnaan berislam seseorang terlihat, yaitu ketika ia kembali ke dalam kehidupan sosial, berbaur lagi dengan masyarakat. Nilai-nilai kesempurnaan Islam yang diajarkan Allah melalui rangkaian ibadah haji seperti ber-ihram, thawaf, jumrah, sa’i, tahallul, dan wukuf menemui implementasinya dalam kehidupan sosial.

Taat Responsif, Cerdas, dan Teladan

Ngefek atau tidak, ini persoalan pascahaji yang wajib dievaluasi, sebab berefek-tidaknya rangkaian ibadah haji dalam diri seseorang merupakan rangkaian pencapain spiritualitas prahaji dan sepanjang ritual haji berlangsung.

Efek pertama yang dapat segera tampak, menurut Dr. Amir Faishol Fath, dosen Sastra Arab Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, adalah ketaatan yang responsif, yaitu ketaatan kepada Allah dengan kesegeraan pelaksanaannya. Tak ada penundaan, apalagi tawar menawar. Ini merupakan nilai spiritulitas Ibrahim tertinggi.

“Seluruh perintah Allah direspon dengan cepat oleh Ibrahim tanpa ragu-ragu, sekalipun berdampak hukuman dibakar hidup-hidup, menyembelih anaknya sendiri, dan meninggalkan keluarga di sebuah tempat tandus tanpa penghuni,” kata Amir.

Selain ketaatan yang responsif, profil yang lahir sebagai efek ibadah haji adalah kecerdasan. Secara lugas Al-Quran menggambarkan kecerdasan Ibrahim sebagai kecerdasan ruhaniyah yang tinggi. “Tidakkah kamu memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim mengenai Tuhannya, karena Allah telah memberinya kerajaan (kekuasaan). Ketika Ibrahim berkata, “Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan,” dia berkata, “Aku pun dapat menghidupkan dan mematikan.” Ibrahim berkata, “Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat.” Maka bingunglah orang yang kafir itu. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim.” (QS. Al-Baqarah [2]: 258).

Ketaatan responsif dan kecerdasan ruhaniyah inilah yang kelak menjadi intisari keteladanan Ibrahim dan keluarganya. Ketaatan dan kecerdasan itu menjadi teladan karena Ibrahim berhasil melakukan transformasi spiritual kepada anak, istri, dan masyarakatnya. “Sungguh, telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya...” (QS. Al-Mumtahanah [60]: 4]