AL- MAA’UUN, MATA AIR KEBIJKSANAAN JNE

 

Refleksi Surah Al Maa'uun dan Pak Prapto

Oleh Muhammad Yulius

Sebagai makhluk Tuhan yang sama-sama dikaruniai karsa (iradat/kehendak) dengan garis kodrat yang memagarinya, manusia dan hewan berhenti di terminal kehidupan sebagai ayat Sang Khalik. Selanjutnya, yang mengatur dan menentukan tata kelola kehidupan, baik masing-masing mereka sebagai individu maupun sel makhluk sosial, hanyalah dia yang diinjeksi hormon kekhalifahan. Dialah yang kemudian menjadi khalifah di muka bumi, sebagai wakil Tuhan untuk menghela kehidupan ke tepi zaman sesuai dengan titah dan kehendak Al-Muhaymin (Sang Maha Pengatur).

Maka, hanya manusialah yang berurusan dengan kreativitas. Pun, hewan diberi pengetahuan, tetapi dia membawanya sampai mati tanpa mekanisme pewarisan kepada anak keturunan dan generasi dalam peradaban. Kreativitaslah yang membedakan hewan dan manusia dalam hal bertempat tinggal; manusia berdiam di rumah, hewan tinggal di sarang atau kandang. Rumah dan kandang didekatkan secara letterlijk (harfiah), tetapi dijauhkan secara estetik.

Kreativitas mencerminkan pemikiran divergen, yaitu kemampuan atau skill yang dapat menghasilkan solusi atau menyelesaikan sebuah masalah yang kompleks. Peringkat survei terbaru menunjukkan bahwa kreativitas merupakan faktor di antara karakteristik yang paling dicari; misalnya, survei IBM di seluruh dunia tentang 1.541 CEO di 60 negara dan 33 industri besar menemukan kreativitas sebagai kemampuan yang paling berharga untuk mangejar puncak masa depan. Survei Adobe menunjukkan bahwa 2.000 guru dan 2.000 orang tua di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan Australia menemukan kreativitas sebagai tujuan pendidikan yang sangat diinginkan.

Kreativitas adalah salah satu dari empat kunci “keterampilan abad 21”, bersama dengan pemikiran kritis, kolaborasi, dan komunikasi. Kreativitas dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk menghasilkan karya asli yang sesuai dengan konteks dan menanggapi kendala tugas.  Dibandingkan dengan intelijen klasik, yang berfokus pada kemampuan analitik, pengetahuan, dan resolusi ahli dari masalah yang sudah dikenal dengan solusi yang diketahui, kreativitas menyangkut menghasilkan ide dan perilaku yang sebelumnya tidak dikenal dalam situasi baru atau memperlakukan situasi yang akrab dengan cara baru. Sedangkan kemampuan intelektual biasanya menghasilkan keberhasilan akademis, kemampuan kreatif paling baik dimanifestasikan prestasi unik, diakui sebagai berharga dalam konteks berbasis domain.

 

Namun, dalam alam pikiran Soeprapto Soeparno, sang pendiri JNE, kreativitas juga berdenyut dan beredar di wilayah spiritual. Ia merasa haqqul yaqin bahwa kreativitas hanyalah buah, yang konstruksi seluruh pontensinya berakar kepada sebuah mata air spiritualitas Ilahi: Al-Maa’uun. Ya, ini tentang sebuah surah dalam Al-Quran, surah ke-107, yang amat akrab dengan telinga para makmum shalat maghrib atau isya di surau atau masjid karena kerap kali dibaca oleh sang imam. Pak Prapto, demikian sapa karib pria kelahiran Bangka ini, pagi-pagi sekali telah mencungkil sebuah ceruk yang menghasilkan sebuah mata air kebijaksanaan, di mana seluruh dinamika tumbuh-kembang-maju JNE ditumpukan. Pak Prapto merancang sebuah dermaga, yang kelak bertumbuh cepat menjadi pelabuhan, tempat ia meluncurkan sebuah biduk dengan layar yang terkembang menjadi guru bagi para karyawannya. Biduk yang bergerak dari dermaga kecil itu berasal dari ayat yang dicetak tebal oleh Pak Prapto dalam surah Al-Maa’uun: 1. Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?, 2. Itulah orang yang menghardik anak yatim, 3. dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. 

Pak Prapto mengkonstruksi bangunan JNE dengan pertama-tama memasang fondasi yang paling kokoh, yakni menyantuni anak yatim dan memberi makan orang miskin. Anak yatim dan orang miskin adalah dua subjek dalam terma Al-Maa’uun, yang menjadi fokus perhatian Pak Prapto, karena dua subjek inilah yang menjadi dalil bagi predikat “pendusta agama” yang disematkan Tuhan kepada manusia, baik secara invidual maupun secara komunal. Pak Prapto tentu tak ingin karyawan JNE terstigma sebagai pendusta agama. Namun, jika kedua subjek dalam terma Al-Maa’uun itu tak terwujud dalam corporate value, maka para pendusta agama itu berkumpul dalam sebuah organisasi bernama perusahaan. Akibatnya, satu perusahaan itu isinya adalah pendusta agama semua. Jelas perusahaan tidak tidak akan mendapat keberkahan. Modusnya bisa bermacam-macam; penjualan merugi, utang membengkak tanpa bisa dibayar, hingga ujungnya adalah kebangkrutan.

Apa yang dilakukan Pak Prapto, dalam piramida Corporate Social Responsibility (CSR) yang dikemukakan oleh Archie B. Carroll, adalah bentuk paling kongkret dari kedermawanan atau filantropi, yakni tanggung jawab sosial yang dapat dicapai oleh perusahaan. Tanggung jawab filantropis menjadi tingkatan tertinggi di piramida CSR Carroll, yang mana perusahaan mulai menempatkan pelayanan sosial sebagai bagian internal yang wajib dilakukan demi meningkatkan kualitas hidup masyarakat tanpa mementingkan keuntungan personal.



Pada 1997 John Elkington melalui bukunya Cannibals with Fork, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Business, mengembangkan konsep triple bottom line dalam istilah economic prosperity, environmental quality, dan social justice. Elkington memberikan pandangan bahwa perusahaan yang ingin berkelanjutan, harus memperhatikan “3P”. Selain mengejar profits (keuntungan), perusahaan juga mesti memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet). Hubungan ini kemudian diilustrasikan dalam bentuk infografik sebagai berikut:

 

 

Dalam gagasan tersebut, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu aspek ekonomi yang direfleksikan dalam kondisi financial-nya saja, tetapi juga harus memperhatikan aspek sosial dan lingkungan (Wibisono 2007:33). Hubungan yang ideal antara profits (keuntungan), people (masyarakat), dan planet (lingkungan) adalah seimbang, tidak bisa mementingkan satu elemen saja. Konsep 3P ini menurut Elkington dapat menjamin keberlangsungan bisnis perusahaan. Hal ini dapat dibenarkan, sebab jika suatu perusahaan hanya mengejar keuntungan semata, bisa jadi lingkungan yang rusak dan masyarakat yang terabaikan menjadi hambatan kelangsungan bisnisnya. Beberapa perusahaan bahkan menjadi terganggu aktivitasnya karena tidak mampu menjaga keseimbangan 3P ini. Jika muncul gangguan dari masyarakat maka yang rugi adalah bisnisnya sendiri (Prastowo dan Huda 2011:27).

1.     Profits (keuntungan)

Profits meruapakan unsur terpenting dan menjadi tujuan utama dari setiap kegiatan usaha. Profits sendiri pada hakikatnya merupakan Sosial (people) Lingkungan (planet) Ekonomi (profits) 14 tambahan pendapatan yang dapat digunakan untuk menjamin kelangsungan hidup perusahaan. Sedangkan aktivitas yang dapat ditempuh untuk mendongkrak profit antara lain dengan meningkatkan produktivitas dan melakukan efiseinsi biaya, sehingga perusahaan mempunyai keunggulan kompetitif yang dapat memberikan nilai tambah semaksimal mungkin (Wibisono 2007: 33).

2.     People (masyarakat pemangku kepentingan)

Menyadari bahwa masyarakat merupakan stakeholder penting bagi perusahaan, karena dukungan mereka, terutama masyarakat sekitar, sangat diperlukan bagi keberadaan, kelangsungan hidup, dan perkembangan perusahaan, maka sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan masyarakat lingkungan, perusahaan perlu berkomitmen untuk berupaya memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada mereka. Perlu disadari bahwa operasi perusahaan berpotensi memberikan dampak kepada masyarakat, karenanya perusahaan perlu untuk melakukan berbagai kegiatan yang menyentuh kebutuhan masyarakat (Wibisono 2007: 34).

3.     Planet (lingkungan)


Lingkungan adalah sesuatu yang terkait dengan seluruh bidang kehidupan kita. Hubungan kita dengan lingkungan adalah hubungan sebeb akibat, di mana jika kita merawat lingkungan, maka lingkungan pun akan memberikan manfaat kepada kita sebaliknya, jika kita merusaknya, maka kita akan menerima akibatnya. Namun sayangnya, 15 sebagian besar dari kita masih kurang peduli dengan lingkungan sekitar. Hal ini disebabkan karena tidak adanya keuntungan langsung didalamnya. Maka, kita melihat banyak pelaku industri yang hanya mementingkan bagaiman menghasilkan uang sebanyak-banyaknya tanpa melakukan upaya apapun untuk melestarikan lingkungan. Padahal, dengan melestarikan lingkungan, mereka justru akan memperoleh keuntungan yang lebih, terutam dari sisi kesehatan, kenyamanan, disamping ketersedian sumber daya yang lebih terjamin kelangsungannya (Wibisono 2007:37). Mendongkrak laba dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi memang penting, namun tak kalah pentingnya juga memperhatikan pelestarian lingkungan. Disinilah perlunya penerapan konsep triple bottom line atau 3BL, yakni profit, people, dan planet. Dengan kata lain, “jantung hati“ bisnis bukan hanya profit (laba) saja, tetapi juga people (manusia) dan jangan lupa, planet (lingkungan) (Wibisono 2007:37).

 Dalam konteks surah Al-Maa’uun, konsep triple bottom line ini adalah mata air yang akan mengalirkan segala sesuatu yang bertitik-tolak darinya, termasuk kreativitas. Seperti kita ketahui, secara umum kreativitas didefinisikan sebagai kemampuan untuk menyajikan perspektif baru, untuk menghasilkan ide-ide baru dan bermakna. Kreativitas juga dapat berarti karyawan menggunakan beragam keterampilan, kemampuan, pengetahuan, pandangan, dan pengalaman mereka yang beragam untuk menghasilkan ide-ide baru untuk pengambilan keputusan, penyelesaian masalah, dan penyelesaian tugas dengan cara yang efisien (Cheung & Wong, 2011). Sedangkan menurut Smith, (2006 dalam Riansyah & Sya'roni, 2014) kreativitas adalah kemampuan seseorang untuk menciptakan sesuatu yang berbeda baik berupa hasil yang dapat dinilai maupun berupa ide (tindakan yang menghasilkan karya cipta baru dan berbeda). Kreativitas karyawan dapat diartikan pusat kelangsungan hidup jangka panjang suatu organisasi karena karyawan dapat menghasilkan ide-ide baru dan berpotensi berguna untuk menciptakan yang baru, dan atau meningkatkan yang sudah ada, produk, layanan, proses, dan rutinitas (Shalley et al., 2000). Kreativitas penting bagi organisasi karena kontribusi kreatif tidak hanya dapat membantu organisasi menjadi lebih efisien dan lebih responsif terhadap peluang, tetapi juga membantu organisasi beradaptasi terhadap perubahan, tumbuh, dan bersaing dalam lingkungan bisnis.

Dalam usianya yang memasuki 33 tahun, JNE telah menjadi pelopor perwujudan triple bottom line menjadi corporate value dengan bertitik-tolak pada titah ilahi dalam surah Al-Maa’uun. Pak Prapto sebagai founder JNE telah meletakkan dengan tepat batu penjuru tanggung jawab filantropis dalam surah Al-Maa’uun menjadi api-energi bagi kreativitas JNE yang tak pernah padam. Salah satu percikan yang dicatat publik dari api-energi kreativitas JNE adalah taglineConnecting Happiness” yang amat jelas mengandung hubungan tripartit People, Planet, dan Profits dalam triple bottom line di atas.

§  #JNE#ConnectingHappiness#JNE33Tahun #JNEContentCompetition2024 #GasssTerusSemangatKreativitasnya  







Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEKAN TARBIYAH

Film Sang Murabbi