FILM SANG MURABBI : kesempurnaan hanya milik Allah semata

Hari Sabtu pagi, saya dan Muhammad Yulius (KetUm MBR), ditemani oleh Irwan Rinaldi (pemeran Ust. Rahmat), serta akh Tio dan akh Yudi dari IQRO Islamic centre, bersilahturahim ke kediaman seorang ustadz senior. Banyak hal yang kami perbincangkan, mulai dari kelanjutan shooting, launching perdana film Sang Murabbi hingga tantangan-tantangan dakwah ke depan. Alhamdulillah, pertemuan ini sangat bermanfaat buat saya dan pak KetUm untuk tetap terus istiqomah, berjuang membuat film-film dakwah.

Satu hal yang menarik dari perbincangan kami pagi itu adalah, pilihan untuk tetap menggunakan judul SANG MURABBI : Mencari Spirit Yang Hilang. Sebelumnya, memang ada sebagian teman yang bertanya, "Apakah Judul Sang Murabbi sudah tepat? Apakah bisa dimengerti atau diterima oleh semua kalangan? " Saya bisa memahami pertanyaan ini.

Betul! Saat ini memang banyak kalangan yang belum mengerti arti kata Murabbi. Kata ini hanya dimengerti oleh kalangan yang biasa bersentuhan dengan ilmu-ilmu islam, mengikuti atau terlibat dalam proses tarbiyah islamiah. Tapi saya percaya, Insya Allah, jika kata murabbi terus menerus disosialisasikan, masyarakat pun akan faham dan mengerti. Seperti halnya beberapa kosa kata yang pada awalnya terasa asing, kini sudah menjadi bahasa sehari-hari.

Kata 'anda', (meminjam penjelasan Yulius, KetUm MBR) awalnya berasal dari kata 'andhika'. Oleh wartawan sebuah majalah berita, untuk mempersingkat pengucapannya kata andhika diubah menjadi anda. Alhasil, kata anda sekarang sudah menjadi bagian dari kosa kata kita sehari-hari. Juga untuk panggilah akhi dan ukhti. Sebelum kang Opick menyanyikan lagu, "assalamua'laikum ya akhi... ya ukhti..." panggilan akhi dan ukhti terasa asing bagi sebagian kalangan. Tapi sekarang, masyarakat cukup familiar dengan sebutan, akhi (untuk saudara laki-laki) dan ukhti (untuk saudara perempuan). Begitu juga kata taa'ruf. Setelah film AAC 'meledak', banyak orang menggunakan kata taa'ruf untuk mengajak berkenalan. Sama halnya dengan sebutan ikhwan/akhwat. Sekedar contoh saja, di musholla GOR. Bulungan, gara-gara ada tulisan tempat wudhu /sholat untuk ikhwan dan akhwat yang terpisah, jemaahnya jadi faham, ooo.. ikhwan, itu buat yang lelaki... Akhwat itu buat perempuan.. Jadi, kata kuncinya memang ada pada sosialisasi. Insya Allah, jika sering-sering disosialisasikan, kata Murabbi akan dapat difahami dan dimengerti artinya oleh masyarakat.

Dalam pemahaman saya yang sederhana (afwan, jika kurang mendalam... kalau ingin dilengkapi, silahkan lho...), Murabbi bisa kita sebut sebagai;

- Walid (orang tua), dalam hubungan emosional.

- Syaikh (bapak spiritual), dalam tarbiyah ruhiah.

- Ustadz (guru), dalam mengajarkan ilmu.

- Qoid (pemimpin), dalam kebijakan dakwah untuk membimbing kita para anak-anaknya atau murid-muridnya (mutarabbi) menjadi pribadi muslim yang sholeh dan muslih.

Akhir kata, hasil dari perbincangan pagi itu, kami semua sepakat bahwa dalam berkarya kita harus berani mengaktualisasikan diri, memposisikan karya kita dengan jelas. Sang Murabbi adalah film Islam. Film dakwah. Karenanya, dalam proses pembuatannya harus diupayakan untuk tidak melanggar hal-hal yang syar'i.

Contohnya; pada saat pengambilan adegan Ust. Rahmat dan Ummi Fida berjalan menyusuri tangga Iqro, Ummi Fida (asli) mengomentari dengan nada bercanda, "Ana kalau diajak jalan-jalan sama Ustadz, biasanya tangan Ana digandeng...." Tapi, karena akh Irwan dan ukhti aci bukan muhrim, apa boleh buat, saya tidak bisa menampilkan adegan 'kemesraan' itu. Akh Irwan pun tersenyum kecut. Tertutup kesempatan akh Irwan untuk dapat memegang tangan ukhti Aci. Hehehe... Bercanda ya, akhi... Tentu saja antum mengerti soal ini.

Jadi, dalam film ini tidak akan ditemui adegan Ummi Fida 'menyentuh' Ust. Rahmat, walaupun hanya sekedar mencium tangan. Kalaupun ada adegan Ati Cancer (memerankah ibunda Ust. Rahmat) menyentuh bahu Jerio (memerankan Awi, adik Ust. Rahmat), itu boleh dilakukan karena dalam kesehariannya, Jerio memang anak kandung ibu Aty Cancer. Atau ada adegan Ust. Rahmat menggendong anak-anaknya, itu juga dimungkinkan karena anak-anak masih terbebas dari hukum halal dan haram.

Tentu saja sebagian orang mungkin berpendapat, ini suatu kekurangan. Ada nilai estetika atau dramatisasi yang tidak dapat tereksplorasi lebih dalam. Adegan bisa jadi hambar, tidak menyentuh karena tidak ada 'sentuhan' fisik. Tapi, saya dan teman-teman di MBR menganggap 'kekurangan' ini adalah suatu berkah. Allah berikan tantangan dan kesempatan pada kami untuk menciptakan suatu adegan yang menyentuh hati (jiwa), tanpa harus melanggar hal-hal yang syar'i. Bisakah??? Para penontonlah yang nanti akan menilai... Wallahua'lam bishawab.. Kesempurnaan hanya milik Allah semata.

Komentar

Irfan Toni H mengatakan…
"...Contohnya; pada saat pengambilan adegan Ust. Rahmat dan Ummi Fida berjalan menyusuri tangga Iqro, Ummi Fida (asli) mengomentari dengan nada bercanda, "Ana kalau diajak jalan-jalan sama Ustadz, biasanya tangan Ana digandeng...."

Entah kenapa, mata saya merembeskan air mata saat membaca tulisan itu. Subhanallah. :)
Unknown mengatakan…
Menurut saya, fiqh larangan bersentuhan dg non-muhrim terkait jg dg waktu dan tempat. Karena itulah, anak2 bisa di gendong oleh non-muhrimnya padahal 10 tahun setelah itu sudah tidak bisa.

Bagaimana kalau adegan bergandengan tangan di visualisasi dg adegan tangan Ummi Fida yg digandeng tangan kakak/adeknya sendiri?

Postingan populer dari blog ini

PEKAN TARBIYAH

Film Sang Murabbi